BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Kabupaten
Simeulue secara geografis terletak di bagian Barat Pulau Sumatra dengan luas
wilayah Kabupaten Simeulue yaitu 2.310 km2 terletak antara 020 02‘
03” _ 030 02’ 04” Lintang
Utara dan 950 22’ 15”- 960 42’
45” Bujur Timur. Merupakan daerah kepulauan terdiri dari
57 buah besar dan kecil, panjang pulau
Simeulue
km
dan lebar antara 8-82 km. Dengan luas wilayah daratan pulau besar dan
pulau-pulau kecil adalah 212.512 ha. Kabupaten Simeulue
adalah salah satu kabupaten dengan jumlah bahasa daerah terbanyak di Provinsi
Aceh dengan jumlah 5 (lima) yaitu bahasa Devayan, Simolol, Sigulai, Jamu, dan
bahasa Leukon yang terbagi di sepuluh kecamatan di Kabupaten Simeulue (sumber Disdukcapil Kab. Simeulue data tahun
2015). Dengan ragam bahasa daerah di Simeulue dan dengan jumlah penutur
bahasa daerah yang berbeda-beda memungkinkan terjadinya pergeseran bahasa dalam
suatu daerah tertentu.
Gambar 1.1
Pulau Simeulue.
Bahasa daerah perlu diperhatikan
sebelum menghilang dari muka bumi ini mengingat bahwa angka kepunahan bahasa
dan sastra di dunia lebih besar dari pada angka kelahirannya. Bahasa dan sastra
dapat mencerminkan karakter pemakainya atau penciptanya. Karakter yang
merupakan cerminan dari jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku,
personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak. Karakter mengacu kepada
serangkaian sikap (attitude),
perilaku (behavior), motivasi (motivation), dan keterampilan (skill).
Di samping itu, pembertahanan bahasa
daerah pula direpresentasikan melalui sikap penutur dan pengguna bahasa daerah
itu, seperti melalui topik-topik pembicaraan pada ranah keluarga dan
masyarakat, ranah pertanian, ranah perkantoran, ranah pasar, dan ranah rumah
sakit. Sikap penutur bahasa dan pengguna bahasa daerah yang mendiami suatu
tempat menunjukkan adanya kesetiaan, kebanggaan dan kesadaran akan norma dan
nilai bahasa sehingga memungkinkan untuk tetap menggunakannya dan
melestarikannya agar tetap membudaya.
Jadi
betapa pentingnya bahasa bagi seorang insan yang hidup di atas bumi ini. Hal
ini juga tidak terlepas dari penutur Bahasa Leukon terdapat di Kabupaten
Simeulue bagian Barat yang tersebar di ujung Barat Pulau Simeulue. Kecamatan
Alafan Kabupaten Simeulue. Perjalanan darat dari Kota Sinabang (ibu kota
Kabupaten Simeulue) ke Kecamatan Alafan menempuh
94 km melewati Kecamatan Teupah Tengah, Teupah
Barat, Simeulue Tengah, Simeulue Cut, Salang, dan Kecamatan Alafan. Dari 10
(kecamatan) di Kabupaten Simeulue ada beragam bahasa daerah yaitu: bahasa
Devayan, Sigulai, Simolol, Jamu, dan bahasa Leukon.
Dari
lima bahasa tersebut jumlah penutur terbanyak adalah bahasa Devayan dengan
jumlah penutur 95.000 orang, bahasa Simolol dengan jumlah penutur 77.000 orang,
bahasa Sigulai dengan jumlah penutur 60.000 orang, bahasa Jamu dengan jumlah
penutur 43.000 orang, bahasa Leukon dengan jumlah penutur 27.000 orang (sumber Disdukcapil Kab. Simeulue data tahun
2015: data diambil dari jumlah penduduk per kecamatan).
Tingkat jumlah penutur bahasa daerah di Simeulue.
Gambar1.2 Grafik jumlah penutur
bahasa daerah di Simeulue.
Dari
grafik di atas dapat kita lihat jumlah penutur bahasa Leukon relatif sedikit
dibanding dengan beberapa bahasa dari kelompok bahasa di Kabupaten Simeulue
seperti bahasa Devayan, bahasa Simolol, bahasa Sigulai, dan bahasa Jamu. Hal
ini yang menjadikan bahasa Leukon sangat rentan terhadap kepunahan, selain
dipengaruhi faktor lingkungan masyarakat, faktor budaya masyarakat, faktor
geografis, serta faktor sosial masyarakat yang masih kurang menyadari akan
pentingnya kesadaran untuk tetap melestarikan bahasa daerah dari nenek
moyangnya pada masyarakat penutur bahasa daerah saat ini. Di dalam penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan informasi pemertahanan bahasa Leukon di
Kecamatan Alafan Kabupaten Simeulue. Pengumpulan data menggunakan metode
etnografi dengan teknik (1) observasi yakni mengamati penggunaan bahasa Leukon dan
sejumlah informan, (2) wawancara, baik terstruktur maupun tidak terstruktur
yang dibantu dengan alat rekam dan tayang (tape
recorder, kamera, dan video). Data yang diinginkan berupa pemertahanan
bahasa Leukon dalam berbagai ranah dan situasi.
Subjek
penelitian yakni masyarakat tutur bahasa Leukon yang berdomisili di Kecamatan
Alafan Kabupaten Simeulue atau lebih tepatnya desa penutur bahasa Leukon di
Kecamatan Alafan dengan waktu kurang lebih 1 bulan berturut-turut. Data
diambil dari dua desa penutur bahasa Leukon
asli di Kecamatan Alafan yakni desa Langi dan desa Lafakha dari delapan desa di
kecamatan Alafan. Selain dari dua desa penutur bahasa Leukon di kecamatan
Alafan, masyarakat desa lainnya penutur bahasa Sigulai. Ada pun informan dalam penelitian ini terdiri
dari pria dan wanita yang masih sehat dan tidak pikun, mulai dari usia
prasekolah hingga 50 tahun ke atas dengan latar belakang sosial yang berbeda-beda.
Penelitian ini memfokuskan usaha yang dilakukan masyarakat Leukon (penutur
bahasa Leukon) mempertahankan identitasnya baik dari segi bahasa, sastra,
maupun kebudayaannya, walaupun kenyataannya bahwa pemertahanan bahasa daerah di
seluruh wilayah Indonesia cenderung menurun karena beberapa faktor antara lain
adalah faktor geografis, faktor pernikahan silang, faktor media masa, serta
faktor ilmu pengetahuan dan teknologi.
Identitas
masyarakat Simeulue seperti bahasa, sastra, maupun budaya tersebut dapat
dipertahankan melalui upaya penelitian-penelitian. Penelitian kali ini akan
difokuskan pada pengkajian pemertahanan bahasa Leukon sebagai objek penelitian
penulis untuk mengetahui upaya masyarakat penutur bahasa Leukon mengantisipasi
kepunahan bahasa daerah sebagai identitas daerah penduduk setempat dan sebagai
jati diri masyarakat penutur bahasa Leukon di Kecamatan Alafan desa Langi dan
Lafakha Kabupaten Simeulue. Dengan pendekatan studi Etnografi yang merupakan
bidang ilmu bahasa yang mempelajari uraian atau sistem kelompok sosial. Etnografi
juga merupakan studi yang sangat mendalam tentang perilaku yang terjadi secara
alami di sebuah daerah atau sebuah kelompok sosial tertentu untuk memahami
sebuah budaya tertentu dari sisi pandang perilakunya (Creswell, 1999: 3).
Pendekatan
studi Etnografi para ahli sering menyebutnya sebagai penelitian lapangan,
karena memang dilaksanakan di lapangan dalam latar alami. Peneliti mengamati
perilaku seseorang atau kelompok sebagaimana apa adanya. Peneliti meneliti ciri
khas dan kebiasaan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat secara alami
berdasarkan kebiasaan sosial masyarakat setempat. Data diperoleh dari hasil
penelitian kualitatif (mengumpulkan data) dari hasil observasi di lapangan,
dengan teknik wawancara dengan anggota kelompok masyarakat, mempelajari dokumen
atau bukti sejarah tertulis, dan menganalisis setelah pengumpulan data di
lapangan. Komponen-komponen pendekatan metode kualitatif dapat dilihat dalam
tabel ini;
Tabel1.1
Metode Penelitian Kualitatif
|
Oleh
karena itu, dari uraian di atas kita dapat melihat bagaimana kondisi bahasa Leukon
yang memungkinkan terjadi pergeseran
dengan bahasa yang lebih banyak jumlah penuturnya. Atas dasar itulah,
penulis bermaksud meneliti bagaimana sikap masyarakat di sana dalam
mempertahankan bahasa daerahnya.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah upaya masyarakat penutur
bahasa Leukon dalam mempertahankan bahasa daerahnya?
2.
Bagaimanakah hambatan masyarakat penutur
bahasa Leukon berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari?
3.
Bagaimanakah perbedaan bahasa Leukon
dengan bahasa yang lain yang ada di Kabupaten Simeulue?
4.
Bagaimanakah kesadaran masyarakat
penutur bahasa Leukon secara alamiah untuk mempertahankan bahasa daerahnya?
1.3
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Mengetahui upaya apa saja yang dilakukan
masyarakat penutur bahasa Leukon dalam mempertahankan bahasa daerahnya.
2.
Mengklasifikasikan bahasa Leukon dengan
bahasa daerah yang lain yang ada di Kabupaten Simeulue.
3.
Mengetahui pembendaharaan kosakata
bahasa Leukon dalam kelompok bahasa daerah di Kabupaten Simeulue.
4.
Mengidentifikasi tingkat kesadaran
masyarakat penutur bahasa Leukon dalam mempertahankan bahasa daerahnya.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari
penelitian mengenai Pemertahanan
Bahasa Leukon (Studi Etnografi di Kecamatan Alafan Kabupaten Simeulue) sebagai
berikut:
1.
Penelitian ini bermanfaat dalam
perkembangan ilmu bahasa khususnya dapat mengembangkan teori mengenai
pemertahanan bahasa daerah.
2.
Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti
sendiri, yaitu menambah wawasan baru tentang objek penelitian pemertahanan
bahasa daerah serta dapat mendeskripsikan pembendaharaan kosakata bahasa Leukon
dalam kelompok bahasa daerah Simeulue.
3.
Penelitian ini bermanfaat bagi
masyarakat umum, dapat mengetahui secara ilmiah tentang upaya apa yang harus
kita lakukan untuk mempertahankan bahasa daerah kita masing-masing.
BAB
II
LANDASAN
TEORITIS
2.1 Definisi Pemertahanan Bahasa
Kajian
tentang pemertahanan bahasa sudah banyak dilakukan oleh para ahli
sosiolinguistik dengan beragam isu-isu yang terjadi. Dengan demikian, ada
beberapa studi yang diacu sebagai kajian pustaka untuk kepentingan penelitian
tentang pemertahanan bahasa Leukon dalam masyarakat multikultural dan dwibahasawan
di Kabupaten Simeulue. Untuk itu, penulis akan rujuk beberapa referensi yang
berkaitan dengan penelitian ini sebagai berikut.
Fasold (1984:180) menyatakan bahwa
pemertahanan bahasa daerah pada masyarakat multilingual terjadi tidak dalam
keadaan sadar, bahasa itu akan tetap bertahan selama penuturnya tetap
menggunakan bahasa itu sebagai bahasa “Lingua
Franca” (bahasa komunitas harian).
Gumperz (1971:101) menyatakan bahwa
dalam suatu wilayah dimungkinkan hidup beberapa varietas bahasa secara
berdampingan, cenderung interaksinya bersifat alih kode dan campur kode.
Aktivitas komunikasi masyarakat multilingual tidak lagi berpatokan pada budaya
setempat. Akibatnya, peran bahasa daerah seperti bahasa Leukon tidak menjadi
prioritas utama dalam berkomunikasi sehari-hari. Bahasa Leukon hanya digunakan
dalam komunikasi sosial terbatas, seperti keluarga dan masyarakat se etnik. Hal
ini memungkinkan terjadinya pergeseran tersebut karena adanya bahasa peralihan.
Wardhaugh (1988: 188) menyatakan
perubahan bahasa atau pergeseran bahasa terjadi secara lambat laun dalam waktu
yang sangat panjang. Perubahan bahasa dapat teramati pada hilangnya bunyi pada
satuan lingual, perubahan struktur fonem dalam satu kata atau struktur split.
Perubahan-perubahan bahasa itu sendiri disebut perubahan internal.
Chaer (2004:142) menyatakan bahwa
perubahan terjadi biasanya di wilayah-wilayah yang memiliki peluang kerja
tinggi dari wilayah lain yang memiliki peluang kerja rendah. Peluang kerja itu
yang menyebabkan banyaknya masyarakat wilayah minus menuju ke wilayah plus atau
surplus peluang kerja. Dalam masyarakat multilingual, penutur cenderung
menentukan pilihan bahasa yang dianggap tepat untuk menafsir tuturan yang
diterima.
Fishman (1964) yang menyatakan
aktivitas komunikasi tidak mungkin terlepas dari topik, lokasi, dan antisipan.
Ketiga ranah tersebut merupakan konsep sosiokultural.
Holmes (dalam Pride, 1964)
menyatakan bahwa pemertahanan bahasa daerah akan terjadi karena adanya
pergeseran bahasa yang disebabkan adanya kelompok tutur pendatang dalam satu
masyarakat multilingual. Pemertahanan bahasa itu terjadi di kedua belah pihak
baik pendatang atau pun yang didatangi. Biasanya, pendatang yang berasal dari
wilayah lain dengan bahasa daerah yang lain akan melakukan pergeseran bahasa
dari bahasa ke bahasa masyarakat yang didatanginya. Pergeseran bahasa sering
terjadi di kota-kota besar yang mampu memberikan harapan hidup. Salah satunya di
Aceh yang merupakan wilayah yang banyak didatangi orang asing. Sehingga di
daerah itu mampu memunculkan multilingual.
Namun, jika bahasa setempat atau
bahasa Aceh kuat, dalam arti masyarakat
asli (penduduk setempat) konsisten tetap berbahasa Aceh dalam berbagai kegiatan
hidup tentu para pendatang akan berusaha kuat memahami bahasa Aceh. Hal yang
sama pada kasus bahasa Leukon, apabila penutur bahasa Leukon tetap konsisten
menggunakan bahasa Leukon dalam aktivitas sehari-hari tentu bahasa tersebut
akan tetap bertahan walaupun dihimpit enam desa penutur bahasa Sigulai dalam
satu kecamatan Alafan Kabupaten Simeulue.
Danie (dalam Chaer, 1995:193)
menyatakan bahwa usaha mempertahankan bahasa setempat agar tidak terkikis oleh
peristiwa pergeseran bahasa atau proses multilingual. Maka perlu adanya konsep
pemertahanan bahasa yang lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana
dicontohkan Chaer bahwa menurunnya pemakaian beberapa bahasa di Minahasa Timur
adalah karena bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia yang
jangkauan pemakaiannya bersifat nasional. Akan tetapi, bisa saja bahasa pertama
akan tetap bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua apabila penutur
bahasa pertama konsisten menggunakan dan mempertahankan keberadaannya.
Fishman (dalam Sumarsono, 1993: 01) menjelaskan
pemertahanan terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di suatu
pihak dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain dalam kultur
multibahasa. Salah satu isu yang cukup menarik dalam kajian pemertahanan dan
pergeseran bahasa adalah ketidakberdayaan minoritas imigran mempertahankan
bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas yang lebih dominan.
Ketidakberdayaan suatu bahasa
minoritas untuk bertahan hidup itu mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah
kontak bahasa minoritas dengan bahasa kedua, sehingga mengenal dua bahasa dan
menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya
bahasa asli bergeser atau punah. Kajian semacam ini pernah pula dilakukan di
Australia dan di Inggris, dan juga di Kanada (Sumarsono, 1993:2)
Berdasarkan uraian di atas proses
pergeseran bahasa sangat menguntungkan bagi bahasa setempat jika masyarakatnya
kuat. Sebaliknya, jika masyarakat tuturnya lemah justru akan terjadi
peninggalan pemakaian bahasa setempat. Hal itu yang perlu diwaspadai oleh
masyarakat penutur bahasa Leukon. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila
ketahanan bahasa Leukon benar-benar harus diperhatikan apabila masyarakat
penutur bahasa Leukon tidak mau kehilangan jati diri dan terdesak bahasa
asing.
2.2 Dasar Pemikiran Pemertahanan Bahasa
Leukon
Upaya untuk mempertahankan sebuah bahasa
agar tidak mengalami pergeseran yang mengakibatkan penghilangan bahasa tidaklah
muda untuk saat ini. Hal ini diakibatkan kontak bahasa yang semakin mudah
akibat mobilitas penduduk yang cukup tinggi. Untuk itu diperlukan rencana yang
matang untuk menangani masalah tersebut.
Kebijaksanaan
bahasa itu merupakan pegangan yang bersifat nasional. Wujud kebijakan berupa
perencanaan cara melestarikan, membina dan mengembangkan sebuah bahasa sesuai
dengan fungsi wilayah termaksud. Usaha seperti itu dilakukan oleh pemerintah di
berbagai negara, seperti Canada, Cina, New Zeland, termasuk Indonesia (Holmes,
199:129; Wardhaugh: 1988: 355). Di Indonesia, lembaga yang berwenang
merencanakan kebijakan bahasa adalah Pusat Bahasa. Lembaga ini bertugas membina
dan mengembangkan bahasa Indonesia, daerah dan asing yang dilindungi negara
(Cris dalam Alwasilah, 1985 113) menurunkan tahapan perencanaan bahasa sebagai
berikut: tahap pencarian fakta, penentuan tujuan, penentuan strategi dan hasil,
pelaksanaan dan umpan balik.
Tahapan-tahapan
di atas memiliki peranan penting dalam menjaga kelangsungan hidup bahasa yang
berada di Indonesia terkhusus bahasa-bahasa daerah, mengapa demikian? Bahasa
daerah di Indonesia memiliki jumlah yang sangat banyak, yang kesemuanya
memiliki hak yang sama untuk bertahan bahkan berkembang. Namun pada
kenyataannya, harapan tersebut susah untuk diwujudkan, karena keberadaan bahasa
daerah terbatasi kebijakan yang berbunyi:
“Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional adalah lambang kebulatan semangat kebangsaan
Indonesia, alat penyatuan berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar
belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya ke dalam satu masyarakat
nasional Indonesia, alat perhubungan antarsuku, antardaerah, dan antarbudaya
dalam kedudukannya, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa
pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional
untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, ilmu
pengetahuan dan teknologi.” (Halim dalam Wijana, 2006:30)
Kebijakan
ini memang memiliki nilai positif, tetapi dampak negatifnya juga sangat besar.
Tidak terbayangkan apabila bahasa-bahasa daerah di Indonesia punah, negeri akan
menanggung kerugian yang amat besar, sebab di dalam bahasa daerah itulah sebetulnya
karakter bangsa ini tergambar. Bahasa daerah adalah bahasa yang menyimpan nilai
budaya luhur yang penuh kearifan lokal. Pada bahasa tersebut terkandung
nilai-nilai budi pekerti/karakter, pandangan hidup atau etika yang cocok untuk
mendukungnya, teknologi, politik dan hukum, pengobatan dan keharmonisan
antarmasyarakat dan dengan alam lingkungannya.
Beralih
dari pemikiran di atas Daerah Kabupaten Simeulue merupakan pusat budaya Leukon
yang memiliki tanggung jawab mengembangkan dan memiliki ketahanan hidup bahasa
daerahnya. Suatu tanggung jawab yang berat karena pada saat ini telah terjadi merger culture akibat terbukanya sistem
komunikasi dan masuknya peradaban luar. Untuk memenuhi tanggung jawab tersebut
maka diperlukan suatu model untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
bahasa dan budaya Leukon.
Ada
beberapa pemikiran praktis yang dapat dijadikan dasar untuk mempertahankan
bahasa Leukon seperti: (1) menggunakan bahasa Leukon dalam berbagai kesempatan,
misalnya di tengah keluarga, di forum-forum pertemuan, dan di lembaga
pendidikan (Moeliono, 1991:3), (2) menghidupkan pemakaian bahasa Leukon di
media sosial (cetak dan elektronik), seperti koran, buku-buku, majalah, radio,
dan televisi; (3) memperjuangkan bahasa daerah di Indonesia menjadi bahasa
nasional kedua, kasus serupa terjadi di Malaysia.
Selain
tiga pemikiran di atas, ada beberapa cara yang bisa dijadikan pelengkap
pemikiran untuk mempertahankan bahasa Leukon. Langkah-langkah tersebut adalah
sebagai berikut ini.
Pertama, upaya
pemertahanan melalui penanaman filosofi bahasa Leukon. Caranya dengan
menanamkan nilai-nilai filosofi lewat ungkapan-ungkapan motivasi leluhur yang
dituangkan dalam bahasa. Ungkapan ini biasanya berupa syair nasihat untuk terus
membudayakan bahasa dengan nilai kearifan lokal yang benar-benar mendasar, dan
dapat menjadi sumber semangat bangsa berbahasa Leukon.
Kedua, usaha pemertahanan melalui lomba
dan festival kebudayaan Leukon. Lomba atau festival sekarang ini menjadi sarana
ampuh dan efektif untuk mendorong masyarakat untuk berbahasa Leukon.
Ketiga, usaha pemertahanan dengan model
pengembangan kesenian tradisional nandong bahasa Leukon, yang menjadi hiburan
masyarakat Simeulue di saat acara-acara kebudayaan. Hal ini dapat menjadi ikon
pengembangan bahasa Leukon lewat kesenian.
Keempat, usaha pemertahanan bahasa Leukon
melalui model “hari berbahasa-berbudaya Leukon”
model dan usaha ini selanjutnya dirancang dapat menjadi tradisi berbahasa Leukon,
yang akhirnya mampu mendorong masyarakat dan pemerintah mengembangkan bahasa Leukon.
Kegiatan ini awalnya dirasakan sangat berat, terlebih siswa dan pegawai yang
bukan penutur bahasa Leukon, tetapi lama-lama mereka terbiasa.
2.3 Model-Model Pemertahanan Bahasa Daerah
2.3.1
Pemertahanan Bahasa Daerah sebagai Alat Komunikasi
Model
pemertahanan bahasa daerah di masyarakat, antara lain ditempuh melalui
penguatan berbahasa daerah sebagai alat komunikasi keluarga dan masyarakat.
Melalui penyuluhan masyarakat diharapkan untuk selalu berkomunikasi dengan
keluarganya dengan bahasa daerah. Selain itu, kegiatan seperti rapat desa,
pengajian, dan ceramah keagamaan dibiasakan menggunakan bahasa daerah.
2.3.2
Pemertahanan Bahasa Daerah Berkonteks Budaya
Penggunaan bahasa daerah (bahasa Leukon)
yang berkonteks budaya, merupakan model pemertahanan yang jitu. Sektor budaya
merupakan sektor unggulan yang dapat menjadikan pemertahanan bahasa daerah.
Kegiatan yang begitu dikemas dalam wisata ilmiah dan wisata rekreasi. Sebagai
contoh wisata rekreasi “Batu Siambong Ambong” dapat digelar
pertunjukkan seni budaya tradisional di sana dengan memanfaatkan momen
kehadiran pengunjung wisata rekreasi itu. Kegiatan semacam ini tidak langsung
mendorong para wisatawan berusaha menggunakan bahasa daerah (bahasa Leukon).
Apabila kegiatan ini terus berkembang dan diikuti kegiatan budaya lainnya,
harapan tumbuhnya kehidupan berbahasa daerah (bahasa Leukon) akan tinggi.
2.3.3 Pemertahanan
Bahasa Daerah melalui Penyiaran Bahasa Lewat
Media Cetak dan Elektronik.
Kegiatan-kegiatan wisata pendidikan,
wisata budaya dan kuliner, disiarkan lewat radio dan televisi, sehingga bisa ditonton
oleh banyak orang. Hal ini juga dapat membudayakan tayangan atau bahan bacaan
yang menggunakan bahasa daerah sehingga masyarakat cenderung untuk kembali
menggali bahasa daerah tersebut karena sudah mulai sering muncul di kegiatan
aktivitas mereka sehari-hari. Metode ini juga praktis dan dapat diprioritaskan.
2.4 Pemertahanan Bahasa Daerah Berbasis
Karakter
Penjelasan di atas menjadi indikasi kuat
akan adanya ancaman pemertahanan bahasa daerah seperti bahasa Leukon. Pemertahanan
bahasa mengacu pada kajian sosiolinguistik, yakni suatu ilmu yang merupakan
perpaduan antara dua disiplin ilmu yaitu sosiologi dan linguistik. Sosiologi
objek kajiannya pada manusia dan masyarakat, sedangkan linguistik mengambil
bahasa serta bidang ilmu lain yang objek penelaahannya pada bahasa. Jadi
pertautan antardisiplin ilmu itu bertugas menelaah berbagai macam penggunaan
bahasa di masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk verbal tertentu dalam
berbagai interaksi sosial. Karena itu, sosiolinguistik melibatkan berbagai
macam faktor yang terdapat dalam masyarakat seperti latar belakang budaya,
keluarga, pendidikan, usia, jenis kelamin, situasi, dan sebagainya. Hymes
(1964:18) berpendapat bahwa penelaahan bahasa tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat pemakainya terutama yang berkaitan dengan norma serta nilai-nilai
yang dimiliki dan dianut oleh warga masyarakat tersebut. Jika unsur sosial
diintegrasikan ke dalam penelaahan linguistik maka sosiolinguistik menjadi
identik dengan linguistik.
Sejalan
dengan itu, Holmes (1992:1) memandang sosiolinguistik sebagai studi tentang
hubungan antara bahasa dan masyarakat. Objek kajian sosiolinguistik adalah
pengkajian perbedaan tutur setiap orang dalam konteks atau kondisi sosial yang
berbeda. Berkaitan dengan perbedaan
sosial, fungsi sosial bahasa menjadi amat penting dan harus diperhatikan karena
melalui penggunaan bahasa akan tercermin identitas sosial masyarakat yang
menggunakan bahasa itu. Satu hal yang patut disadari bahwa dalam tatanan
masyarakat, seseorang akan terikat dengan nilai-nilai sosial dan nilai- nilai
budaya masyarakatnya, termasuk nilai-nilai ketika seseorang menggunakan bahasa.
Nilai selalu terkait dengan apa yang baik dan apa yang tidak baik yang
diwujudkan dalam kaidah-kaidah, baik kaidah dalam bentuk lisan (namun dipatuhi
oleh warga masyarakatnya), maupun yang diwujudkan dalam kaidah verbal.
Pengkajian bahasa yang dihubungkan dengan aspek kemasyarakatan itulah yang
menjadi objek kajian sosiolinguistik. Wardhaugh
(2006:4) menjelaskan bahwa sosiolinguistik pada hakikatnya mengkaji hubungan
bahasa dan masyarakat dengan mengaitkan dua bidang yang dikaji secara terpisah,
yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh
sosiologi. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Hudson (1996:2) yang
memandang sosiolinguistik sebagai suatu ilmu dengan bidang kajiannya
berorientasi pada seluk beluk penggunaan bahasa dalam berbagai lapisan
masyarakat pemakai bahasa, baik menyangkut tindak tutur, kesantunan, maupun
variasi. Terdapat perbedaan titik tekan antara ahli satu dengan ahli lainnya.
Ada yang lebih menekankan pada masalah kebahasaan dan memandang faktor sosial
sebagai variabel saja.
Ada
pula yang berpikir sebaliknya yakni lebih memberi penekanan pada aspek sosial
dan faktor bahasa hanya berfungsi menjelaskan fenomena kemasyarakatan. Oleh
karena itu, lahirlah dua titik tekan yang berbeda, yakni sosiolinguistik untuk bidang
yang titik tekannya pada bidang kebahasaan dan sosiologi bahasa yang titik
tekannya pada masalah sosial (kemasyarakatan). Selanjutnya sosiolinguistik lalu
dipandang sebagai subdisiplin dari studi linguistik dan sosiologi bahasa
dipandang sebagai subdisiplin dari sosiologi. Dengan mengacu pada berbagai
argumentasi di atas, selanjutnya Mahsun (2005) menjelaskan bahwa
sosiolinguistik dapat dikelompokkan menjadi dua subbidang yaitu
mikrososiolinguistik dan makrososiolinguistik.”
Mikrsosiolinguistik
mengacu pada kajian bahasa pada komunikasi antarpersonal, sedangkan
makrolinguistik mengacu pada tingkat yang lebih tinggi, yakni komunikasi
tingkat komunitas. Lebih jauh dijelaskan
bahwa yang pertama pembahasannya berkisar pada bentuk dan struktur bahasa dalam
kaitannya dengan komunikasi antarperseorangan, sementara yang kedua membahas
perihal masyarakat dalam hubungannya dengan bahasa. Dalam hal ini yang dibahas
menyangkut masalah diglosia, kedwibahasaan, sikap bahasa, perencanaan bahasa,
dan lain-lain. Dalam tataran makrososiolinguistik pemertahanan bahasa (language main tenance) lazimnya tertuju
pada masyarakat bahasa bilingual. Hal tersebut berlaku pada realitas bahasa ibu
atau bahasa etnis seperti bahasa Leukon berhadapan dengan bahasa utama seperti
bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, konteks pemertahanan bahasa Leukon,
titik tekannya pada kedua-duanya (mikro dan makrososiolinguistik).
2.5 Sikap Pemertahanan Bahasa Daerah
Sikap
dan motivasi sering berkaitan memainkan peran yang penting dalam pembelajaran
bahasa, seperti dikatakan Richards (1998: 308) bahwa "sikap masyarakat terhadap pemakaian bahasa dan terhadap lingkungan
mereka sangat mempengaruhi.”
Tulisan yang berjudul “Tingkat
Tutur Bahasa Jawa di Diponggo: Menuju ke Kepunahan” (Sariono, 2002:
195) menguraikan penelitian tentang pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa
ibarat dua sisi dari satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan hasil kolektif dari pemilihan bahasa (language
choice). Selanjutnya, dikemukakan bahwa pemertahanan bahasa dan pergeseran
bahasa adalah:
”Language
shift simply means that a community gives up a language completely in favour of
another one. The members of the community, when the shift has taken place, have
collectivelly chosen anew language where and old one used to be used in
language maintenance, the community collectivelly decides to continue using the
language in domains formely shift in progress. If the member of speech
community are monolingual and are not collectively acquiring another language,
then they are obvisiously
maintaining their language use pattern. (Fasold,1985:213)”(http:/www.id.shvoong.com/socialciences/1798573-pemertahanan
bahasa ibu.
Uraian tersebut secara sederhana
dapat dikatakan bahwa pergeseran bahasa itu terjadi manakala masyarakat memilih
suatu bahasa baru untuk mengganti bahasa sebelumnya. Dengan kata lain,
pergeseran bahasa itu terjadi karena masyarakat bahasa tertentu beralih ke
bahasa lain, biasanya bahasa domain dan berprestise, lalu digunakan dalam
ranah-ranah pemakaian bahasa yang lama. Pemertahanan bahasa adalah masyarakat
bahasa tetap menggunakan bahasanya secara kolektif atau secara bersama-sama
dalam ranah-ranah pemakaian tradisional. Dalam konteks penelitian dengan kajian
di atas, dan faktor penunjang serta penghambat pemertahanan bahasa ada
persamaan seperti adanya pilihan bahasa bagi masyarakat pemakainya.
Perbedaannya, objek kajian di atas adalah kepunahan bahasa sedangkan dalam
tulisan ini objek kajiannya adalah pemertahanan bahasa.
Relevansinya dengan penelitian ini
adalah hasil pemaparan tersebut menambah wawasan penulis untuk mendapatkan
konsep dalam memahami upaya-upaya, faktor-faktor serta dampak yang mempengaruhi
pemertahanan bahasa Leukon dalam masyarakat multikultural di Kabupaten
Simeulue. Penelitian berjudul “Pergeseran Bahasa Dayak di Kota
Palangkaraya” (Kurniati, 2007: 73) menyebutkan bahwa salah satu faktor
penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat
pendukungnya. Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan tetap
melestarikan bahasanya dari generasi ke generasi. Kaitannya dengan penelitian
ini adalah loyalitas masyarakat dan pemertahanan bahasa sama-sama merupakan
suatu upaya yang dilakukan secara alamiah. Manfaat dari tulisan tersebut
terhadap penelitian ini menambah wawasan penulis dalam memahami faktor
penunjang pemertahanan bahasa Leukon. Disertasi Sumarsono (1990: 27) yang
berjudul “Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali,” menguraikan bahwa
konsentrasi wilayah permukiman adalah salah satu faktor yang dapat mendukung
kelestarian sebuah bahasa.
Sikap bahasa terdiri atas sikap
bahasa yang positif dan sikap bahasa yang negatif. Sikap bahasa yang positif
adalah sikap penutur terhadap suatu bahasa sebagaimana dikatakan oleh Garvin
dan Mathiot yakni penutur suatu bahasa adalah yang memiliki kesetiaan terhadap
bahasanya dengan kata lain tidak perlu merasa malu atau gengsi menggunakan
bahasa itu misalnya, orang Simeulue tidak boleh merasa gengsi menggunakan
bahasa Leukon, harus merasa bangga terhadap kepemilikan bahasa sendiri, dan di
samping itu memiliki pengetahuan dan kesadaran adanya kaidah dan norma bahasa Leukon
agar dapat menggunakannya dengan baik.
Sebaliknya, sikap bahasa yang
negatif adalah sikap penutur terhadap suatu bahasa tidak memiliki lagi tiga hal
yang dikatakan oleh Garvin dan Mathiot tersebut. Misalnya, orang Simeulue tidak
memiliki kemauan lagi menggunakan bahasanya sendiri, tidak bangga dengan
kepemilikan bahasanya, dan tidak ingin mengetahui kaidah atau norma bahasanya
sendiri. Sekaitan sikap bahasa yang negatif ini, Halim (1978: 7) mengatakan
bahwa jalan yang harus ditempuh untuk mengubah sikap bahasa yang negatif
menjadi sikap bahasa yang positif adalah dengan pendidikan bahasa yang
dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma bahasa, di samping
norma-norma sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat bahasa yang
bersangkutan.
Kedua sikap bahasa tersebut, akan
berkaitan dengan pemertahanan bahasa. Pemertahanan bahasa adalah persoalan
bagaimana sikap penutur dan penilaiannya terhadap suatu bahasa untuk tetap
menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa-bahasa lainnya. Contoh
kasus kajian Danie (1987) dalam disertasinya yang berjudul “Kajian Geografi Dialek Minahasa
Timur Laut,” mengatakan bahwa menurunnya pemakaian beberapa bahasa
daerah di Minahasa Timur adalah karena pengaruh penggunaan bahasa Melayu Manado
yang memiliki prestise yang lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia yang
jangkauan pemakaiannya bersifat nasional.
Contoh kasus lainnya adalah kajian
Sumarsono (1990) dalam disertasinya yang berjudul “Pemertahanan Bahasa Melayu
Loloan di Bali,” dikatakannya bahwa pemertahanan penggunaan bahasa
Melayu Loloan di desa Lolowan yang termasuk wilayah kota Nagara Bali yang
penduduknya hanya berjumlah sekitar tiga ribu orang tidak menggunakan bahasa
Bali, melainkan menggunakan sejenis bahasa Melayu yang disebut bahasa Melayu
Loloan sebagai bahasa pertamanya dan bahasa keduanya adalah bahasa Bali tetapi
lebih bertahan menggunakan bahasa pertamanya yaitu bahasa Melayu Loloan. Agama
mereka adalah agama Islam, dan leluhur mereka berasal dari Bugis dan Pontianak
sejak abad 18 tiba di tempat itu.
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian dan Waktu
Penelitian
Lokasi
penelitian adalah di Kabupaten Simeulue Kecamatan Alafan tepatnya di 2 (dua)
desa yaitu Desa Langi dan Desa Lafakha. Waktu penelitian akan direncanakan 1
(satu) bulan berturut-turut. Adapun lokasi penelitian kali ini dapat dilihat
pada peta di bawah ini;
Gambar
3.1. Lokasi Penelitian di Desa Langi dan Desa.
3.2 Metode dan Desain Penelitian
3.2.1
Metode Penelitian
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan
studi etnografi. Selain itu, metode penelitian yang akan digunakan untuk
memperoleh data mengacu pada teori Dell Hyms (1972; 1975: 9-18) yang disebut
SPEAKING (settingandscene, participants,
ends, actsequences, key, instrumentalities, normandgendre). Teknik demikian
ditempuh berdasarkan pertimbangan penelitian di lapangan dan wawancara dengan
masyarakat yang menjadi objek penelitian.
3.2.2
Desain Penelitian
Desain
Penelitian pada kali ini mengacu kepada desain penelitian metode kualitatif
dengan pendekatan studi etnografi seperti yang dikemukakan Sri Suwanti
(2001:29) dengan tahapan sebagai berikut; Pengujian, Tabulasi, Klasifikasi,
Kombinasi, dan Analisis Data.
3.3 Populasi dan Pengambilan Sampel
3.3.1
Populasi Penelitian
Populasi
yang diteliti adalah semua masyarakat penutur bahasa Leukon mulai dari
prasekolah sampai dengan usia 50 tahun ke atas yang ada di dua desa penutur
bahasa Leukon asli yaitu Desa Langi dan Desa Lafakha di Kecamatan Alafan
Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh.
3.3.2
Pengambilan Sampel
Ada
pun cara menentukan sampel penelitian ini adalah mencari informan yang terdiri
dari pria dan wanita yang masih sehat dan tidak pikun, mulai dari usia
prasekolah hingga 50 tahun ke atas dengan latar belakang sosial yang
berbeda-beda. Pemilihan informan dalam penelitian ini mengikuti prosedur yang
disarankan oleh Spradley (1980: 15) yakni melalui lima kriteria, maka informan
yang dipilih adalah: (1) informan yang menyatu dengan kegiatan atau medan
aktivitas yang menjadi informasi, menghayati secara sungguh-sungguh sebagai
akibat dari keterlibatannya yang cukup lama dengan lingkungan atau kegiatan
yang bersangkutan; (2) informan yang masih terlibat secara penuh/aktif pada
kegiatan yang menjadi perhatian peneliti; (3) informan yang mempunyai cukup
banyak waktu atau kesempatan untuk diwawancarai; (4) informan yang dalam
memberikan informasi tidak cenderung diolah atau dipersiapkan lebih dahulu;
dan(5) informan dapat dipastikan sebelumnya tergolong masih “asing” dengan
penelitian.
3.4
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
3.4.1
Teknik Penelitian
Teknik
penelitian yang akan dilaksanakan berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu peneliti menyediakan lembaran observasi di lapangan guna menulis
pengamatan di dalam lingkungan masyarakat. Kemudian peneliti juga
mengidentifikasi skala sikap masyarakat dalam mempertahankan bahasa daerahnya.
3.4.2
Instrumen Penelitian
Adapun
Instrumen penelitian ini tahapannya adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi
sikap penutur bahasa Leukon; dan bagaimana upaya penutur bahasa Leukon untuk
mempertahankan bahasa daerahnya melalui studi etnografi dan berdasarkan teori sosiolinguistik
dan teori sosiologi sastra.
2. Mengklasifikasi
bahasa daerah di Simeulue sebagai identitas; sikap penutur bahasa Leukon; dan
alasan mempertahankan bahasa dan bagaimana upaya penutur bahasa Leukon untuk
mempertahankan bahasa daerahnya melalui studi etnografi dan berdasarkan teori sosiolinguistik
dan teori sosiologi sastra.
3. Menganalisis
bahasa Leukon sebagai identitas daerahnya; sikap penutur bahasa Leukon; dan
bagaimana upaya penutur bahasa Leukon untuk mempertahankan bahasa daerahnya
melalui studi etnografi dan berdasarkan teori sosiolinguistik dan teori
sosiologi sastra.
4. Mendeskripsi
bahasa Leukon sebagai identitas bahasa daerah penuturnya; sikap penutur bahasa
Leukon; dan bagaimana upaya penutur bahasa Leukon untuk mempertahankan bahasa
daerahnya melalui studi etnografi dan berdasarkan teori sosiolinguistik dan
teori sosiologi sastra.
5. Menyimpulkan
bahasa Leukon sebagai identitas bahasa daerah penuturnya; sikap penutur bahasa
Leukon; dan bagaimana upaya penutur bahasa Leukon untuk mempertahankan bahasa
daerahnya melalui studi etnografi dan berdasarkan teori sosiolinguistik dan
teori sosiologi sastra.
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis
data dimaksudkan untuk mengungkapkan sikap penutur bahasa Leukon; dan bagaimana
upaya penutur bahasa Leukon mempertahankan bahasa daerahnya, dengan menggunakan
teori sosiolinguistik yang mengacu ke teori Fishman (1968,1977); dan teori
sosiologi sastra yang mengacu ke teori Renne Wellek & Austin Warren (
1989), Ian Watt (dalam Faruk, 1994) dan Sapardi Djoko Damono (1978).
Data yang diperoleh melalui
observasi, wawancara, rekaman, dan pencatatan di lapangan dianalisis sesuai
karakter masalah dan tujuan dalam penelitian ini. Analisis data dalam
penelitian ini dilakukan oleh peneliti ketika berada di lapangan sementara
pengambilan data dan setelah pengambilan data berakhir. Miles dan Huberman
(dalam Sugiono, 2009: 246) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus
sampai tuntas dan mencapai kejenuhan. Aktivitas
dalam analisis data, yaitu pengurangan data “data
reduction,” penyajian data “data
display.” dan menarik kesimpulan/perifikasi “conclusiondrawing/verification.”
3.6 Definisi Operasional Variabel
Ruang
lingkup penelitian ini tidak hanya terbatas masalah upaya pemertahanan bahasa
daerah Leukon di Desa Langi dan Desa Lafakha. Akan tetapi, penelitian ini juga
mengkaji tentang distribusi kosa kata bahasa-bahasa daerah di Kabupaten
Simeulue dengan tujuan jumlah bahasa secara real dapat diketahui dengan pasti.
Sebagaimana yang dikemukakan Galela (1999:8) bahasa dikatakan berbeda dengan
bahasa daerah lainnya apabila ada 200 kata dasar yang membedakannya.
Oleh karena penelitian ini sifatnya
penelitian lapangan yang berhubungan dengan manusia sebagai penutur bahasa,
maka dalam pengumpulan data diperlukan adanya pemilihan informan sebagai sumber
data. Dalam penelitian ini penentuan informan kunci ‘key informan’ yang paling utama, sebab jumlah informan sebagai
sumber data ditentukan oleh data. Jika dalam proses pengumpulan data tidak lagi
ditemukan variasi data yang disampaikan oleh informan, maka peneliti tidak
perlu lagi mencari informan baru. Berdasarkan itu pula proses pengumpulan data
telah selesai. Informan dalam penelitian ini dapat berjumlah banyak dan juga
dapat berjumlah sedikit tergantung tepat tidaknya pemilihan informan kunci dan
kompleksitas serta keragaman fenomena karakteristik perlakuan penutur bahasa Leukon
untuk mempertahankan bahasa daerahnya secara alamiah.
Tahapan dan operasional variabel yang
direncanakan peneliti dalam pelaksanaan penelitian ini sebagai berikut:
a. merumuskan
masalah berdasarkan realitas empiris di lapangan;
b. mengidentifikasi
dan mendeskripsikan fokus masalah berdasarkan ide;
c. pokok
dalam rumusan masalah;
d. mengembangkan
instrumen sesuai rumusan masalah dan indikatornya;
e. mengidentifikasi
dan menetapkan sumber data yang relevan dengan rumusan masalah dan
indikatornya;
f. menyusun
rencana tindakan untuk menjaring data, antara lain: pengurusan surat izin
penelitian; penjelajahan lapangan yang diyakini terdapat sumber data; dan pengorganisasian
pelaksanaan kegiatan penelitian;
g. melaksanakan
pengumpulan data dari sumber data yang telah ditetapkan;
h. membuat
transkrip data yang telah diperoleh;
i.
membuat identifikasi terhadap data
berdasarkan tujuan penelitian;
j.
mengedit data yang telah diperoleh;
k. mengklasifikasi
data yang telah diperoleh berdasarkan tujuan penelitian;
l.
menganalisis fenomena-fenomena yang
ditemukan berupa bahasa
dan sikap pengguna bahasa Leukon; serta
bagaimana upaya penutur
mempertahankan bahasa Leukon sebagai
bahasa daerahnya melalui hasil rekaman wawancara dengan informan;
m. menginterpretasi
hasil temuan;
n. membuat
sintesis hasil interpretasi berdasarkan tujuan penelitian;
o. menyajikan
hasil temuan; dan
p. membuat
kesimpulan atau verifikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar