Senin, 19 September 2016

Proposal "Pemertahanan Bahasa Leukon (Study Etnografi di Kecamatan Alafan Kabupaten Simeulue)"

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
Kabupaten Simeulue secara geografis terletak di bagian Barat Pulau Sumatra dengan luas wilayah Kabupaten Simeulue yaitu 2.310 km2 terletak antara 020 0203” _ 030 0204Lintang Utara dan 950 2215- 960 4245Bujur Timur. Merupakan daerah kepulauan terdiri dari 57 buah besar dan kecil, panjang pulau Simeulue  km dan lebar antara 8-82 km. Dengan luas wilayah daratan pulau besar dan pulau-pulau kecil adalah 212.512 ha. Kabupaten Simeulue adalah salah satu kabupaten dengan jumlah bahasa daerah terbanyak di Provinsi Aceh dengan jumlah 5 (lima) yaitu bahasa Devayan, Simolol, Sigulai, Jamu, dan bahasa Leukon yang terbagi di sepuluh kecamatan di Kabupaten Simeulue (sumber Disdukcapil Kab. Simeulue data tahun 2015). Dengan ragam bahasa daerah di Simeulue dan dengan jumlah penutur bahasa daerah yang berbeda-beda memungkinkan terjadinya pergeseran bahasa dalam suatu daerah tertentu.
 





Gambar 1.1 Pulau Simeulue.
            Bahasa daerah perlu diperhatikan sebelum menghilang dari muka bumi ini mengingat bahwa angka kepunahan bahasa dan sastra di dunia lebih besar dari pada angka kelahirannya. Bahasa dan sastra dapat mencerminkan karakter pemakainya atau penciptanya. Karakter yang merupakan cerminan dari jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak. Karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitude), perilaku (behavior), motivasi (motivation), dan keterampilan (skill).
            Di samping itu, pembertahanan bahasa daerah pula direpresentasikan melalui sikap penutur dan pengguna bahasa daerah itu, seperti melalui topik-topik pembicaraan pada ranah keluarga dan masyarakat, ranah pertanian, ranah perkantoran, ranah pasar, dan ranah rumah sakit. Sikap penutur bahasa dan pengguna bahasa daerah yang mendiami suatu tempat menunjukkan adanya kesetiaan, kebanggaan dan kesadaran akan norma dan nilai bahasa sehingga memungkinkan untuk tetap menggunakannya dan melestarikannya agar tetap membudaya.       
            Jadi betapa pentingnya bahasa bagi seorang insan yang hidup di atas bumi ini. Hal ini juga tidak terlepas dari penutur Bahasa Leukon terdapat di Kabupaten Simeulue bagian Barat yang tersebar di ujung Barat Pulau Simeulue. Kecamatan Alafan Kabupaten Simeulue. Perjalanan darat dari Kota Sinabang (ibu kota Kabupaten Simeulue) ke Kecamatan Alafan menempuh  94 km melewati Kecamatan Teupah Tengah, Teupah Barat, Simeulue Tengah, Simeulue Cut, Salang, dan Kecamatan Alafan. Dari 10 (kecamatan) di Kabupaten Simeulue ada beragam bahasa daerah yaitu: bahasa Devayan, Sigulai, Simolol, Jamu, dan bahasa Leukon.
            Dari lima bahasa tersebut jumlah penutur terbanyak adalah bahasa Devayan dengan jumlah penutur 95.000 orang, bahasa Simolol dengan jumlah penutur 77.000 orang, bahasa Sigulai dengan jumlah penutur 60.000 orang, bahasa Jamu dengan jumlah penutur 43.000 orang, bahasa Leukon dengan jumlah penutur 27.000 orang (sumber Disdukcapil Kab. Simeulue data tahun 2015: data diambil dari jumlah penduduk per kecamatan).
Tingkat jumlah penutur bahasa daerah di Simeulue.







Gambar1.2 Grafik jumlah penutur bahasa daerah di Simeulue.

            Dari grafik di atas dapat kita lihat jumlah penutur bahasa Leukon relatif sedikit dibanding dengan beberapa bahasa dari kelompok bahasa di Kabupaten Simeulue seperti bahasa Devayan, bahasa Simolol, bahasa Sigulai, dan bahasa Jamu. Hal ini yang menjadikan bahasa Leukon sangat rentan terhadap kepunahan, selain dipengaruhi faktor lingkungan masyarakat, faktor budaya masyarakat, faktor geografis, serta faktor sosial masyarakat yang masih kurang menyadari akan pentingnya kesadaran untuk tetap melestarikan bahasa daerah dari nenek moyangnya pada masyarakat penutur bahasa daerah saat ini. Di dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi pemertahanan bahasa Leukon di Kecamatan Alafan Kabupaten Simeulue. Pengumpulan data menggunakan metode etnografi dengan teknik (1) observasi yakni mengamati penggunaan bahasa Leukon dan sejumlah informan, (2) wawancara, baik terstruktur maupun tidak terstruktur yang dibantu dengan alat rekam dan tayang (tape recorder, kamera, dan video). Data yang diinginkan berupa pemertahanan bahasa Leukon dalam berbagai ranah dan situasi.
            Subjek penelitian yakni masyarakat tutur bahasa Leukon yang berdomisili di Kecamatan Alafan Kabupaten Simeulue atau lebih tepatnya desa penutur bahasa Leukon di Kecamatan Alafan dengan waktu kurang lebih 1 bulan berturut-turut. Data diambil  dari dua desa penutur bahasa Leukon asli di Kecamatan Alafan yakni desa Langi dan desa Lafakha dari delapan desa di kecamatan Alafan. Selain dari dua desa penutur bahasa Leukon di kecamatan Alafan, masyarakat desa lainnya penutur bahasa Sigulai.  Ada pun informan dalam penelitian ini terdiri dari pria dan wanita yang masih sehat dan tidak pikun, mulai dari usia prasekolah hingga 50 tahun ke atas dengan latar belakang sosial yang berbeda-beda. Penelitian ini memfokuskan usaha yang dilakukan masyarakat Leukon (penutur bahasa Leukon) mempertahankan identitasnya baik dari segi bahasa, sastra, maupun kebudayaannya, walaupun kenyataannya bahwa pemertahanan bahasa daerah di seluruh wilayah Indonesia cenderung menurun karena beberapa faktor antara lain adalah faktor geografis, faktor pernikahan silang, faktor media masa, serta faktor ilmu pengetahuan dan teknologi.            
            Identitas masyarakat Simeulue seperti bahasa, sastra, maupun budaya tersebut dapat dipertahankan melalui upaya penelitian-penelitian. Penelitian kali ini akan difokuskan pada pengkajian pemertahanan bahasa Leukon sebagai objek penelitian penulis untuk mengetahui upaya masyarakat penutur bahasa Leukon mengantisipasi kepunahan bahasa daerah sebagai identitas daerah penduduk setempat dan sebagai jati diri masyarakat penutur bahasa Leukon di Kecamatan Alafan desa Langi dan Lafakha Kabupaten Simeulue. Dengan pendekatan studi Etnografi yang merupakan bidang ilmu bahasa yang mempelajari uraian atau sistem kelompok sosial. Etnografi juga merupakan studi yang sangat mendalam tentang perilaku yang terjadi secara alami di sebuah daerah atau sebuah kelompok sosial tertentu untuk memahami sebuah budaya tertentu dari sisi pandang perilakunya (Creswell, 1999: 3).
            Pendekatan studi Etnografi para ahli sering menyebutnya sebagai penelitian lapangan, karena memang dilaksanakan di lapangan dalam latar alami. Peneliti mengamati perilaku seseorang atau kelompok sebagaimana apa adanya. Peneliti meneliti ciri khas dan kebiasaan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat secara alami berdasarkan kebiasaan sosial masyarakat setempat. Data diperoleh dari hasil penelitian kualitatif (mengumpulkan data) dari hasil observasi di lapangan, dengan teknik wawancara dengan anggota kelompok masyarakat, mempelajari dokumen atau bukti sejarah tertulis, dan menganalisis setelah pengumpulan data di lapangan. Komponen-komponen pendekatan metode kualitatif dapat dilihat dalam tabel ini;


           


Tabel1.1 Metode Penelitian Kualitatif
 
           
           
            Oleh karena itu, dari uraian di atas kita dapat melihat bagaimana kondisi bahasa Leukon yang memungkinkan terjadi pergeseran  dengan bahasa yang lebih banyak jumlah penuturnya. Atas dasar itulah, penulis bermaksud meneliti bagaimana sikap masyarakat di sana dalam mempertahankan bahasa daerahnya.








1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.        Bagaimanakah upaya masyarakat penutur bahasa Leukon dalam mempertahankan bahasa daerahnya?
2.        Bagaimanakah hambatan masyarakat penutur bahasa Leukon berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari?
3.        Bagaimanakah perbedaan bahasa Leukon dengan bahasa yang lain yang ada di Kabupaten Simeulue?
4.        Bagaimanakah kesadaran masyarakat penutur bahasa Leukon secara alamiah untuk mempertahankan bahasa daerahnya?

1.3    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.        Mengetahui upaya apa saja yang dilakukan masyarakat penutur bahasa Leukon dalam mempertahankan bahasa daerahnya.
2.        Mengklasifikasikan bahasa Leukon dengan bahasa daerah yang lain yang ada di Kabupaten Simeulue.
3.        Mengetahui pembendaharaan kosakata bahasa Leukon dalam kelompok bahasa daerah di Kabupaten Simeulue.
4.        Mengidentifikasi tingkat kesadaran masyarakat penutur bahasa Leukon dalam mempertahankan bahasa daerahnya.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian mengenai Pemertahanan Bahasa Leukon (Studi Etnografi di Kecamatan Alafan Kabupaten Simeulue) sebagai berikut:
1.      Penelitian ini bermanfaat dalam perkembangan ilmu bahasa khususnya dapat mengembangkan teori mengenai pemertahanan bahasa daerah.
2.      Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti sendiri, yaitu menambah wawasan baru tentang objek penelitian pemertahanan bahasa daerah serta dapat mendeskripsikan pembendaharaan kosakata bahasa Leukon dalam kelompok bahasa daerah Simeulue.
3.      Penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat umum, dapat mengetahui secara ilmiah tentang upaya apa yang harus kita lakukan untuk mempertahankan bahasa daerah kita masing-masing.










BAB II
LANDASAN TEORITIS

2.1  Definisi Pemertahanan Bahasa
Kajian tentang pemertahanan bahasa sudah banyak dilakukan oleh para ahli sosiolinguistik dengan beragam isu-isu yang terjadi. Dengan demikian, ada beberapa studi yang diacu sebagai kajian pustaka untuk kepentingan penelitian tentang pemertahanan bahasa Leukon dalam masyarakat multikultural dan dwibahasawan di Kabupaten Simeulue. Untuk itu, penulis akan rujuk beberapa referensi yang berkaitan dengan penelitian ini sebagai berikut.
            Fasold (1984:180) menyatakan bahwa pemertahanan bahasa daerah pada masyarakat multilingual terjadi tidak dalam keadaan sadar, bahasa itu akan tetap bertahan selama penuturnya tetap menggunakan bahasa itu sebagai bahasa “Lingua Franca” (bahasa komunitas harian).
            Gumperz (1971:101) menyatakan bahwa dalam suatu wilayah dimungkinkan hidup beberapa varietas bahasa secara berdampingan, cenderung interaksinya bersifat alih kode dan campur kode. Aktivitas komunikasi masyarakat multilingual tidak lagi berpatokan pada budaya setempat. Akibatnya, peran bahasa daerah seperti bahasa Leukon tidak menjadi prioritas utama dalam berkomunikasi sehari-hari. Bahasa Leukon hanya digunakan dalam komunikasi sosial terbatas, seperti keluarga dan masyarakat se etnik. Hal ini memungkinkan terjadinya pergeseran tersebut karena adanya bahasa peralihan.
            Wardhaugh (1988: 188) menyatakan perubahan bahasa atau pergeseran bahasa terjadi secara lambat laun dalam waktu yang sangat panjang. Perubahan bahasa dapat teramati pada hilangnya bunyi pada satuan lingual, perubahan struktur fonem dalam satu kata atau struktur split. Perubahan-perubahan bahasa itu sendiri disebut perubahan internal.
            Chaer (2004:142) menyatakan bahwa perubahan terjadi biasanya di wilayah-wilayah yang memiliki peluang kerja tinggi dari wilayah lain yang memiliki peluang kerja rendah. Peluang kerja itu yang menyebabkan banyaknya masyarakat wilayah minus menuju ke wilayah plus atau surplus peluang kerja. Dalam masyarakat multilingual, penutur cenderung menentukan pilihan bahasa yang dianggap tepat untuk menafsir tuturan yang diterima.
            Fishman (1964) yang menyatakan aktivitas komunikasi tidak mungkin terlepas dari topik, lokasi, dan antisipan. Ketiga ranah tersebut merupakan konsep sosiokultural.
            Holmes (dalam Pride, 1964) menyatakan bahwa pemertahanan bahasa daerah akan terjadi karena adanya pergeseran bahasa yang disebabkan adanya kelompok tutur pendatang dalam satu masyarakat multilingual. Pemertahanan bahasa itu terjadi di kedua belah pihak baik pendatang atau pun yang didatangi. Biasanya, pendatang yang berasal dari wilayah lain dengan bahasa daerah yang lain akan melakukan pergeseran bahasa dari bahasa ke bahasa masyarakat yang didatanginya. Pergeseran bahasa sering terjadi di kota-kota besar yang mampu memberikan harapan hidup. Salah satunya di Aceh yang merupakan wilayah yang banyak didatangi orang asing. Sehingga di daerah itu mampu memunculkan multilingual.
            Namun, jika bahasa setempat atau bahasa Aceh kuat,  dalam arti masyarakat asli (penduduk setempat) konsisten tetap berbahasa Aceh dalam berbagai kegiatan hidup tentu para pendatang akan berusaha kuat memahami bahasa Aceh. Hal yang sama pada kasus bahasa Leukon, apabila penutur bahasa Leukon tetap konsisten menggunakan bahasa Leukon dalam aktivitas sehari-hari tentu bahasa tersebut akan tetap bertahan walaupun dihimpit enam desa penutur bahasa Sigulai dalam satu kecamatan Alafan Kabupaten Simeulue.
            Danie (dalam Chaer, 1995:193) menyatakan bahwa usaha mempertahankan bahasa setempat agar tidak terkikis oleh peristiwa pergeseran bahasa atau proses multilingual. Maka perlu adanya konsep pemertahanan bahasa yang lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan Chaer bahwa menurunnya pemakaian beberapa bahasa di Minahasa Timur adalah karena bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia yang jangkauan pemakaiannya bersifat nasional. Akan tetapi, bisa saja bahasa pertama akan tetap bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua apabila penutur bahasa pertama konsisten menggunakan dan mempertahankan keberadaannya.
            Fishman  (dalam Sumarsono, 1993: 01) menjelaskan pemertahanan terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di suatu pihak dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain dalam kultur multibahasa. Salah satu isu yang cukup menarik dalam kajian pemertahanan dan pergeseran bahasa adalah ketidakberdayaan minoritas imigran mempertahankan bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas yang lebih dominan.
            Ketidakberdayaan suatu bahasa minoritas untuk bertahan hidup itu mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah kontak bahasa minoritas dengan bahasa kedua, sehingga mengenal dua bahasa dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya bahasa asli bergeser atau punah. Kajian semacam ini pernah pula dilakukan di Australia dan di Inggris, dan juga di Kanada (Sumarsono, 1993:2)
            Berdasarkan uraian di atas proses pergeseran bahasa sangat menguntungkan bagi bahasa setempat jika masyarakatnya kuat. Sebaliknya, jika masyarakat tuturnya lemah justru akan terjadi peninggalan pemakaian bahasa setempat. Hal itu yang perlu diwaspadai oleh masyarakat penutur bahasa Leukon. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila ketahanan bahasa Leukon benar-benar harus diperhatikan apabila masyarakat penutur bahasa Leukon tidak mau kehilangan jati diri dan terdesak bahasa asing. 

2.2  Dasar Pemikiran Pemertahanan Bahasa Leukon
Upaya untuk mempertahankan sebuah bahasa agar tidak mengalami pergeseran yang mengakibatkan penghilangan bahasa tidaklah muda untuk saat ini. Hal ini diakibatkan kontak bahasa yang semakin mudah akibat mobilitas penduduk yang cukup tinggi. Untuk itu diperlukan rencana yang matang untuk menangani masalah tersebut.
            Kebijaksanaan bahasa itu merupakan pegangan yang bersifat nasional. Wujud kebijakan berupa perencanaan cara melestarikan, membina dan mengembangkan sebuah bahasa sesuai dengan fungsi wilayah termaksud. Usaha seperti itu dilakukan oleh pemerintah di berbagai negara, seperti Canada, Cina, New Zeland, termasuk Indonesia (Holmes, 199:129; Wardhaugh: 1988: 355). Di Indonesia, lembaga yang berwenang merencanakan kebijakan bahasa adalah Pusat Bahasa. Lembaga ini bertugas membina dan mengembangkan bahasa Indonesia, daerah dan asing yang dilindungi negara (Cris dalam Alwasilah, 1985 113) menurunkan tahapan perencanaan bahasa sebagai berikut: tahap pencarian fakta, penentuan tujuan, penentuan strategi dan hasil, pelaksanaan dan umpan balik.
            Tahapan-tahapan di atas memiliki peranan penting dalam menjaga kelangsungan hidup bahasa yang berada di Indonesia terkhusus bahasa-bahasa daerah, mengapa demikian? Bahasa daerah di Indonesia memiliki jumlah yang sangat banyak, yang kesemuanya memiliki hak yang sama untuk bertahan bahkan berkembang. Namun pada kenyataannya, harapan tersebut susah untuk diwujudkan, karena keberadaan bahasa daerah terbatasi kebijakan yang berbunyi:
“Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah lambang kebulatan semangat kebangsaan Indonesia, alat penyatuan berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya ke dalam satu masyarakat nasional Indonesia, alat perhubungan antarsuku, antardaerah, dan antarbudaya dalam kedudukannya, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi.” (Halim dalam Wijana, 2006:30)

            Kebijakan ini memang memiliki nilai positif, tetapi dampak negatifnya juga sangat besar. Tidak terbayangkan apabila bahasa-bahasa daerah di Indonesia punah, negeri akan menanggung kerugian yang amat besar, sebab di dalam bahasa daerah itulah sebetulnya karakter bangsa ini tergambar. Bahasa daerah adalah bahasa yang menyimpan nilai budaya luhur yang penuh kearifan lokal. Pada bahasa tersebut terkandung nilai-nilai budi pekerti/karakter, pandangan hidup atau etika yang cocok untuk mendukungnya, teknologi, politik dan hukum, pengobatan dan keharmonisan antarmasyarakat dan dengan alam lingkungannya.
            Beralih dari pemikiran di atas Daerah Kabupaten Simeulue merupakan pusat budaya Leukon yang memiliki tanggung jawab mengembangkan dan memiliki ketahanan hidup bahasa daerahnya. Suatu tanggung jawab yang berat karena pada saat ini telah terjadi merger culture akibat terbukanya sistem komunikasi dan masuknya peradaban luar. Untuk memenuhi tanggung jawab tersebut maka diperlukan suatu model untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan bahasa dan budaya Leukon.
            Ada beberapa pemikiran praktis yang dapat dijadikan dasar untuk mempertahankan bahasa Leukon seperti: (1) menggunakan bahasa Leukon dalam berbagai kesempatan, misalnya di tengah keluarga, di forum-forum pertemuan, dan di lembaga pendidikan (Moeliono, 1991:3), (2) menghidupkan pemakaian bahasa Leukon di media sosial (cetak dan elektronik), seperti koran, buku-buku, majalah, radio, dan televisi; (3) memperjuangkan bahasa daerah di Indonesia menjadi bahasa nasional kedua, kasus serupa terjadi di Malaysia.
            Selain tiga pemikiran di atas, ada beberapa cara yang bisa dijadikan pelengkap pemikiran untuk mempertahankan bahasa Leukon. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut ini.
            Pertama, upaya pemertahanan melalui penanaman filosofi bahasa Leukon. Caranya dengan menanamkan nilai-nilai filosofi lewat ungkapan-ungkapan motivasi leluhur yang dituangkan dalam bahasa. Ungkapan ini biasanya berupa syair nasihat untuk terus membudayakan bahasa dengan nilai kearifan lokal yang benar-benar mendasar, dan dapat menjadi sumber semangat bangsa berbahasa Leukon.
            Kedua, usaha pemertahanan melalui lomba dan festival kebudayaan Leukon. Lomba atau festival sekarang ini menjadi sarana ampuh dan efektif untuk mendorong masyarakat untuk berbahasa Leukon.
            Ketiga, usaha pemertahanan dengan model pengembangan kesenian tradisional nandong bahasa Leukon, yang menjadi hiburan masyarakat Simeulue di saat acara-acara kebudayaan. Hal ini dapat menjadi ikon pengembangan bahasa Leukon lewat kesenian.
            Keempat, usaha pemertahanan bahasa Leukon melalui model “hari berbahasa-berbudaya Leukon” model dan usaha ini selanjutnya dirancang dapat menjadi tradisi berbahasa Leukon, yang akhirnya mampu mendorong masyarakat dan pemerintah mengembangkan bahasa Leukon. Kegiatan ini awalnya dirasakan sangat berat, terlebih siswa dan pegawai yang bukan penutur bahasa Leukon, tetapi lama-lama mereka terbiasa.




2.3  Model-Model Pemertahanan Bahasa Daerah
2.3.1 Pemertahanan Bahasa Daerah sebagai Alat Komunikasi
            Model pemertahanan bahasa daerah di masyarakat, antara lain ditempuh melalui penguatan berbahasa daerah sebagai alat komunikasi keluarga dan masyarakat. Melalui penyuluhan masyarakat diharapkan untuk selalu berkomunikasi dengan keluarganya dengan bahasa daerah. Selain itu, kegiatan seperti rapat desa, pengajian, dan ceramah keagamaan dibiasakan menggunakan bahasa daerah.

2.3.2 Pemertahanan Bahasa Daerah Berkonteks Budaya
Penggunaan bahasa daerah (bahasa Leukon) yang berkonteks budaya, merupakan model pemertahanan yang jitu. Sektor budaya merupakan sektor unggulan yang dapat menjadikan pemertahanan bahasa daerah. Kegiatan yang begitu dikemas dalam wisata ilmiah dan wisata rekreasi. Sebagai contoh wisata rekreasi “Batu Siambong Ambong” dapat digelar pertunjukkan seni budaya tradisional di sana dengan memanfaatkan momen kehadiran pengunjung wisata rekreasi itu. Kegiatan semacam ini tidak langsung mendorong para wisatawan berusaha menggunakan bahasa daerah (bahasa Leukon). Apabila kegiatan ini terus berkembang dan diikuti kegiatan budaya lainnya, harapan tumbuhnya kehidupan berbahasa daerah (bahasa Leukon) akan tinggi.


2.3.3 Pemertahanan Bahasa Daerah melalui Penyiaran Bahasa Lewat   Media Cetak dan Elektronik.
Kegiatan-kegiatan wisata pendidikan, wisata budaya dan kuliner, disiarkan lewat radio dan televisi, sehingga bisa ditonton oleh banyak orang. Hal ini juga dapat membudayakan tayangan atau bahan bacaan yang menggunakan bahasa daerah sehingga masyarakat cenderung untuk kembali menggali bahasa daerah tersebut karena sudah mulai sering muncul di kegiatan aktivitas mereka sehari-hari. Metode ini juga praktis dan dapat diprioritaskan.
           
2.4  Pemertahanan Bahasa Daerah Berbasis Karakter
Penjelasan di atas menjadi indikasi kuat akan adanya ancaman pemertahanan bahasa daerah seperti bahasa Leukon. Pemertahanan bahasa mengacu pada kajian sosiolinguistik, yakni suatu ilmu yang merupakan perpaduan antara dua disiplin ilmu yaitu sosiologi dan linguistik. Sosiologi objek kajiannya pada manusia dan masyarakat, sedangkan linguistik mengambil bahasa serta bidang ilmu lain yang objek penelaahannya pada bahasa. Jadi pertautan antardisiplin ilmu itu bertugas menelaah berbagai macam penggunaan bahasa di masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk verbal tertentu dalam berbagai interaksi sosial. Karena itu, sosiolinguistik melibatkan berbagai macam faktor yang terdapat dalam masyarakat seperti latar belakang budaya, keluarga, pendidikan, usia, jenis kelamin, situasi, dan sebagainya. Hymes (1964:18) berpendapat bahwa penelaahan bahasa tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemakainya terutama yang berkaitan dengan norma serta nilai-nilai yang dimiliki dan dianut oleh warga masyarakat tersebut. Jika unsur sosial diintegrasikan ke dalam penelaahan linguistik maka sosiolinguistik menjadi identik dengan linguistik.
            Sejalan dengan itu, Holmes (1992:1) memandang sosiolinguistik sebagai studi tentang hubungan antara bahasa dan masyarakat. Objek kajian sosiolinguistik adalah pengkajian perbedaan tutur setiap orang dalam konteks atau kondisi sosial yang berbeda.       Berkaitan dengan perbedaan sosial, fungsi sosial bahasa menjadi amat penting dan harus diperhatikan karena melalui penggunaan bahasa akan tercermin identitas sosial masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Satu hal yang patut disadari bahwa dalam tatanan masyarakat, seseorang akan terikat dengan nilai-nilai sosial dan nilai- nilai budaya masyarakatnya, termasuk nilai-nilai ketika seseorang menggunakan bahasa. Nilai selalu terkait dengan apa yang baik dan apa yang tidak baik yang diwujudkan dalam kaidah-kaidah, baik kaidah dalam bentuk lisan (namun dipatuhi oleh warga masyarakatnya), maupun yang diwujudkan dalam kaidah verbal. Pengkajian bahasa yang dihubungkan dengan aspek kemasyarakatan itulah yang menjadi objek kajian sosiolinguistik.            Wardhaugh (2006:4) menjelaskan bahwa sosiolinguistik pada hakikatnya mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat dengan mengaitkan dua bidang yang dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Hudson (1996:2) yang memandang sosiolinguistik sebagai suatu ilmu dengan bidang kajiannya berorientasi pada seluk beluk penggunaan bahasa dalam berbagai lapisan masyarakat pemakai bahasa, baik menyangkut tindak tutur, kesantunan, maupun variasi. Terdapat perbedaan titik tekan antara ahli satu dengan ahli lainnya. Ada yang lebih menekankan pada masalah kebahasaan dan memandang faktor sosial sebagai variabel saja.
            Ada pula yang berpikir sebaliknya yakni lebih memberi penekanan pada aspek sosial dan faktor bahasa hanya berfungsi menjelaskan fenomena kemasyarakatan. Oleh karena itu, lahirlah dua titik tekan yang berbeda, yakni sosiolinguistik untuk bidang yang titik tekannya pada bidang kebahasaan dan sosiologi bahasa yang titik tekannya pada masalah sosial (kemasyarakatan). Selanjutnya sosiolinguistik lalu dipandang sebagai subdisiplin dari studi linguistik dan sosiologi bahasa dipandang sebagai subdisiplin dari sosiologi. Dengan mengacu pada berbagai argumentasi di atas, selanjutnya Mahsun (2005) menjelaskan bahwa sosiolinguistik dapat dikelompokkan menjadi dua subbidang yaitu mikrososiolinguistik dan makrososiolinguistik.”
            Mikrsosiolinguistik mengacu pada kajian bahasa pada komunikasi antarpersonal, sedangkan makrolinguistik mengacu pada tingkat yang lebih tinggi, yakni komunikasi tingkat  komunitas. Lebih jauh dijelaskan bahwa yang pertama pembahasannya berkisar pada bentuk dan struktur bahasa dalam kaitannya dengan komunikasi antarperseorangan, sementara yang kedua membahas perihal masyarakat dalam hubungannya dengan bahasa. Dalam hal ini yang dibahas menyangkut masalah diglosia, kedwibahasaan, sikap bahasa, perencanaan bahasa, dan lain-lain. Dalam tataran makrososiolinguistik pemertahanan bahasa (language main tenance) lazimnya tertuju pada masyarakat bahasa bilingual. Hal tersebut berlaku pada realitas bahasa ibu atau bahasa etnis seperti bahasa Leukon berhadapan dengan bahasa utama seperti bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, konteks pemertahanan bahasa Leukon, titik tekannya pada kedua-duanya (mikro dan makrososiolinguistik).

2.5  Sikap Pemertahanan Bahasa Daerah
Sikap dan motivasi sering berkaitan memainkan peran yang penting dalam pembelajaran bahasa, seperti dikatakan Richards (1998: 308) bahwa "sikap masyarakat terhadap pemakaian bahasa dan terhadap lingkungan mereka sangat mempengaruhi.”
            Tulisan yang berjudul “Tingkat Tutur Bahasa Jawa di Diponggo: Menuju ke Kepunahan” (Sariono, 2002: 195) menguraikan penelitian tentang pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa ibarat dua sisi dari satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan hasil kolektif dari pemilihan bahasa  (language choice). Selanjutnya, dikemukakan bahwa pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa adalah:
”Language shift simply means that a community gives up a language completely in favour of another one. The members of the community, when the shift has taken place, have collectivelly chosen anew language where and old one used to be used in language maintenance, the community collectivelly decides to continue using the language in domains formely shift in progress. If the member of speech community are monolingual and are not collectively acquiring another language, then they are obvisiously maintaining their language use pattern. (Fasold,1985:213)”(http:/www.id.shvoong.com/socialciences/1798573-pemertahanan bahasa ibu.

            Uraian tersebut secara sederhana dapat dikatakan bahwa pergeseran bahasa itu terjadi manakala masyarakat memilih suatu bahasa baru untuk mengganti bahasa sebelumnya. Dengan kata lain, pergeseran bahasa itu terjadi karena masyarakat bahasa tertentu beralih ke bahasa lain, biasanya bahasa domain dan berprestise, lalu digunakan dalam ranah-ranah pemakaian bahasa yang lama. Pemertahanan bahasa adalah masyarakat bahasa tetap menggunakan bahasanya secara kolektif atau secara bersama-sama dalam ranah-ranah pemakaian tradisional. Dalam konteks penelitian dengan kajian di atas, dan faktor penunjang serta penghambat pemertahanan bahasa ada persamaan seperti adanya pilihan bahasa bagi masyarakat pemakainya. Perbedaannya, objek kajian di atas adalah kepunahan bahasa sedangkan dalam tulisan ini objek kajiannya adalah pemertahanan bahasa.
            Relevansinya dengan penelitian ini adalah hasil pemaparan tersebut menambah wawasan penulis untuk mendapatkan konsep dalam memahami upaya-upaya, faktor-faktor serta dampak yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Leukon dalam masyarakat multikultural di Kabupaten Simeulue. Penelitian berjudul “Pergeseran Bahasa Dayak di Kota Palangkaraya” (Kurniati, 2007: 73) menyebutkan bahwa salah satu faktor penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat pendukungnya. Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan tetap melestarikan bahasanya dari generasi ke generasi. Kaitannya dengan penelitian ini adalah loyalitas masyarakat dan pemertahanan bahasa sama-sama merupakan suatu upaya yang dilakukan secara alamiah. Manfaat dari tulisan tersebut terhadap penelitian ini menambah wawasan penulis dalam memahami faktor penunjang pemertahanan bahasa Leukon. Disertasi Sumarsono (1990: 27) yang berjudul “Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali,” menguraikan bahwa konsentrasi wilayah permukiman adalah salah satu faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah bahasa.
            Sikap bahasa terdiri atas sikap bahasa yang positif dan sikap bahasa yang negatif. Sikap bahasa yang positif adalah sikap penutur terhadap suatu bahasa sebagaimana dikatakan oleh Garvin dan Mathiot yakni penutur suatu bahasa adalah yang memiliki kesetiaan terhadap bahasanya dengan kata lain tidak perlu merasa malu atau gengsi menggunakan bahasa itu misalnya, orang Simeulue tidak boleh merasa gengsi menggunakan bahasa Leukon, harus merasa bangga terhadap kepemilikan bahasa sendiri, dan di samping itu memiliki pengetahuan dan kesadaran adanya kaidah dan norma bahasa Leukon agar dapat menggunakannya dengan baik.
            Sebaliknya, sikap bahasa yang negatif adalah sikap penutur terhadap suatu bahasa tidak memiliki lagi tiga hal yang dikatakan oleh Garvin dan Mathiot tersebut. Misalnya, orang Simeulue tidak memiliki kemauan lagi menggunakan bahasanya sendiri, tidak bangga dengan kepemilikan bahasanya, dan tidak ingin mengetahui kaidah atau norma bahasanya sendiri. Sekaitan sikap bahasa yang negatif ini, Halim (1978: 7) mengatakan bahwa jalan yang harus ditempuh untuk mengubah sikap bahasa yang negatif menjadi sikap bahasa yang positif adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma bahasa, di samping norma-norma sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan.
            Kedua sikap bahasa tersebut, akan berkaitan dengan pemertahanan bahasa. Pemertahanan bahasa adalah persoalan bagaimana sikap penutur dan penilaiannya terhadap suatu bahasa untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa-bahasa lainnya. Contoh kasus kajian Danie (1987) dalam disertasinya yang berjudul “Kajian Geografi Dialek Minahasa Timur Laut,” mengatakan bahwa menurunnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena pengaruh penggunaan bahasa Melayu Manado yang memiliki prestise yang lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia yang jangkauan pemakaiannya bersifat nasional.
            Contoh kasus lainnya adalah kajian Sumarsono (1990) dalam disertasinya yang berjudul “Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali,” dikatakannya bahwa pemertahanan penggunaan bahasa Melayu Loloan di desa Lolowan yang termasuk wilayah kota Nagara Bali yang penduduknya hanya berjumlah sekitar tiga ribu orang tidak menggunakan bahasa Bali, melainkan menggunakan sejenis bahasa Melayu yang disebut bahasa Melayu Loloan sebagai bahasa pertamanya dan bahasa keduanya adalah bahasa Bali tetapi lebih bertahan menggunakan bahasa pertamanya yaitu bahasa Melayu Loloan. Agama mereka adalah agama Islam, dan leluhur mereka berasal dari Bugis dan Pontianak sejak abad 18 tiba di tempat itu.






BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1  Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Simeulue Kecamatan Alafan tepatnya di 2 (dua) desa yaitu Desa Langi dan Desa Lafakha. Waktu penelitian akan direncanakan 1 (satu) bulan berturut-turut. Adapun lokasi penelitian kali ini dapat dilihat pada peta di bawah ini;
 







Gambar 3.1. Lokasi Penelitian di Desa Langi dan Desa.

3.2  Metode dan Desain Penelitian
3.2.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi etnografi. Selain itu, metode penelitian yang akan digunakan untuk memperoleh data mengacu pada teori Dell Hyms (1972; 1975: 9-18) yang disebut SPEAKING (settingandscene, participants, ends, actsequences, key, instrumentalities, normandgendre). Teknik demikian ditempuh berdasarkan pertimbangan penelitian di lapangan dan wawancara dengan masyarakat yang menjadi objek penelitian.
3.2.2 Desain Penelitian
Desain Penelitian pada kali ini mengacu kepada desain penelitian metode kualitatif dengan pendekatan studi etnografi seperti yang dikemukakan Sri Suwanti (2001:29) dengan tahapan sebagai berikut; Pengujian, Tabulasi, Klasifikasi, Kombinasi, dan Analisis Data.

3.3 Populasi dan Pengambilan Sampel
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi yang diteliti adalah semua masyarakat penutur bahasa Leukon mulai dari prasekolah sampai dengan usia 50 tahun ke atas yang ada di dua desa penutur bahasa Leukon asli yaitu Desa Langi dan Desa Lafakha di Kecamatan Alafan Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh.

3.3.2 Pengambilan Sampel
Ada pun cara menentukan sampel penelitian ini adalah mencari informan yang terdiri dari pria dan wanita yang masih sehat dan tidak pikun, mulai dari usia prasekolah hingga 50 tahun ke atas dengan latar belakang sosial yang berbeda-beda. Pemilihan informan dalam penelitian ini mengikuti prosedur yang disarankan oleh Spradley (1980: 15) yakni melalui lima kriteria, maka informan yang dipilih adalah: (1) informan yang menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi informasi, menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat dari keterlibatannya yang cukup lama dengan lingkungan atau kegiatan yang bersangkutan; (2) informan yang masih terlibat secara penuh/aktif pada kegiatan yang menjadi perhatian peneliti; (3) informan yang mempunyai cukup banyak waktu atau kesempatan untuk diwawancarai; (4) informan yang dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau dipersiapkan lebih dahulu; dan(5) informan dapat dipastikan sebelumnya tergolong masih “asing” dengan penelitian.

3.4 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
            3.4.1 Teknik Penelitian
Teknik penelitian yang akan dilaksanakan berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peneliti menyediakan lembaran observasi di lapangan guna menulis pengamatan di dalam lingkungan masyarakat. Kemudian peneliti juga mengidentifikasi skala sikap masyarakat dalam mempertahankan bahasa daerahnya.
            3.4.2 Instrumen Penelitian
      Adapun Instrumen penelitian ini tahapannya adalah sebagai berikut:
1.      Mengidentifikasi sikap penutur bahasa Leukon; dan bagaimana upaya penutur bahasa Leukon untuk mempertahankan bahasa daerahnya melalui studi etnografi dan berdasarkan teori sosiolinguistik dan teori sosiologi sastra.
2.      Mengklasifikasi bahasa daerah di Simeulue sebagai identitas; sikap penutur bahasa Leukon; dan alasan mempertahankan bahasa dan bagaimana upaya penutur bahasa Leukon untuk mempertahankan bahasa daerahnya melalui studi etnografi dan berdasarkan teori sosiolinguistik dan teori sosiologi sastra.
3.      Menganalisis bahasa Leukon sebagai identitas daerahnya; sikap penutur bahasa Leukon; dan bagaimana upaya penutur bahasa Leukon untuk mempertahankan bahasa daerahnya melalui studi etnografi dan berdasarkan teori sosiolinguistik dan teori sosiologi sastra.
4.      Mendeskripsi bahasa Leukon sebagai identitas bahasa daerah penuturnya; sikap penutur bahasa Leukon; dan bagaimana upaya penutur bahasa Leukon untuk mempertahankan bahasa daerahnya melalui studi etnografi dan berdasarkan teori sosiolinguistik dan teori sosiologi sastra.
5.      Menyimpulkan bahasa Leukon sebagai identitas bahasa daerah penuturnya; sikap penutur bahasa Leukon; dan bagaimana upaya penutur bahasa Leukon untuk mempertahankan bahasa daerahnya melalui studi etnografi dan berdasarkan teori sosiolinguistik dan teori sosiologi sastra.

3.5 Teknik Analisis Data
Analisis data dimaksudkan untuk mengungkapkan sikap penutur bahasa Leukon; dan bagaimana upaya penutur bahasa Leukon mempertahankan bahasa daerahnya, dengan menggunakan teori sosiolinguistik yang mengacu ke teori Fishman (1968,1977); dan teori sosiologi sastra yang mengacu ke teori Renne Wellek & Austin Warren ( 1989), Ian Watt (dalam Faruk, 1994) dan Sapardi Djoko Damono (1978).
            Data yang diperoleh melalui observasi, wawancara, rekaman, dan pencatatan di lapangan dianalisis sesuai karakter masalah dan tujuan dalam penelitian ini. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti ketika berada di lapangan sementara pengambilan data dan setelah pengambilan data berakhir. Miles dan Huberman (dalam Sugiono, 2009: 246) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas dan mencapai kejenuhan.   Aktivitas dalam analisis data, yaitu pengurangan data “data reduction,” penyajian data “data display.” dan menarik kesimpulan/perifikasi “conclusiondrawing/verification.”

3.6 Definisi Operasional Variabel
Ruang lingkup penelitian ini tidak hanya terbatas masalah upaya pemertahanan bahasa daerah Leukon di Desa Langi dan Desa Lafakha. Akan tetapi, penelitian ini juga mengkaji tentang distribusi kosa kata bahasa-bahasa daerah di Kabupaten Simeulue dengan tujuan jumlah bahasa secara real dapat diketahui dengan pasti. Sebagaimana yang dikemukakan Galela (1999:8) bahasa dikatakan berbeda dengan bahasa daerah lainnya apabila ada 200 kata dasar yang membedakannya.
            Oleh karena penelitian ini sifatnya penelitian lapangan yang berhubungan dengan manusia sebagai penutur bahasa, maka dalam pengumpulan data diperlukan adanya pemilihan informan sebagai sumber data. Dalam penelitian ini penentuan informan kunci ‘key informan’ yang paling utama, sebab jumlah informan sebagai sumber data ditentukan oleh data. Jika dalam proses pengumpulan data tidak lagi ditemukan variasi data yang disampaikan oleh informan, maka peneliti tidak perlu lagi mencari informan baru. Berdasarkan itu pula proses pengumpulan data telah selesai. Informan dalam penelitian ini dapat berjumlah banyak dan juga dapat berjumlah sedikit tergantung tepat tidaknya pemilihan informan kunci dan kompleksitas serta keragaman fenomena karakteristik perlakuan penutur bahasa Leukon untuk mempertahankan bahasa daerahnya secara alamiah.
            Tahapan dan operasional variabel yang direncanakan peneliti dalam pelaksanaan penelitian ini sebagai berikut:
a.       merumuskan masalah berdasarkan realitas empiris di lapangan;
b.      mengidentifikasi dan mendeskripsikan fokus masalah berdasarkan ide;
c.       pokok dalam rumusan masalah;
d.      mengembangkan instrumen sesuai rumusan masalah dan indikatornya;
e.       mengidentifikasi dan menetapkan sumber data yang relevan dengan rumusan masalah dan indikatornya;
f.       menyusun rencana tindakan untuk menjaring data, antara lain: pengurusan surat izin penelitian; penjelajahan lapangan yang diyakini terdapat sumber data; dan pengorganisasian pelaksanaan kegiatan penelitian;
g.      melaksanakan pengumpulan data dari sumber data yang telah ditetapkan;
h.      membuat transkrip data yang telah diperoleh;
i.        membuat identifikasi terhadap data berdasarkan tujuan penelitian;
j.        mengedit data yang telah diperoleh;
k.      mengklasifikasi data yang telah diperoleh berdasarkan tujuan penelitian;
l.        menganalisis fenomena-fenomena yang ditemukan berupa bahasa
dan sikap pengguna bahasa Leukon; serta bagaimana upaya penutur
mempertahankan bahasa Leukon sebagai bahasa daerahnya melalui hasil rekaman wawancara dengan informan;
m.    menginterpretasi hasil temuan;
n.      membuat sintesis hasil interpretasi berdasarkan tujuan penelitian;
o.      menyajikan hasil temuan; dan
p.      membuat kesimpulan atau verifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar