Selasa, 20 September 2016

KOMUNIKASI BINATANG DAN BAHASA MANUSIA

BAB 4
KOMUNIKASI BINATANG DAN BAHASA MANUSIA

Apakah binatang mempunyai kemampuan dasar untuk berbahasa seperti manusia? Bab ini memaparkan upaya-upaya yang dilakukan para ahli bahasa dan para psikolog untuk menjawab pertanyaan yang menggoda mereka itu. Hal pertama yang dilakukan ialah mengkaji cara binatang berkomunikasi dengan binatang lain dalam spesiesnya. Di samping dapat diketahui kode-kode isyarat dasar binatang, dari kajian itu juga diketahui cara binatang tertentu berkomunikasi. Hal kedua yang dilakukan adalah mengajarkan bahasa manusia pada binatang, yaitu simpanse. Hasil yang ditemukan pun bervariasi. Walaupun binatang dapat berkomunikasi dengan anggota spesiesnya, sebagian peneliti memandang bahwa binatang memiliki potensi dasar untuk berbahasa dan sebagian yang lain memandang binatang tidak memilikinya. Oleh karena itulah, di samping membahas eksperimen-eksperimen yang dilakukan pada binatang, bab ini juga membahas kontroversi mengenai temuan eksperimen-eksperimen itu.
Ide bahwa beberapa jenis binatang memiliki kemampuan berbahasa bukanlah hal yang ganjil. Benar atau tidaknya ide itu sebenarnya merupakan kajian ilmiah yang cukup serius. Secara sepintas memang tampak adanya kesamaan antara bahasa lisan manusia dengan syarat-syarat yang digunakan sebagian binatang. Bahasa manusia dapat dipecah ke dalam satuan-satuan bunyi disebut fonem yang mencakup konsonan, vokal, dan diftong. Sebuah fonem tertentu tidak selalu identik. Misalnya, bunyi [p] dalam kata pintu dan sedap mengandung pengucapan yang berbeda secara fisik. Pada pengucapan kata pertama, kedua bibir yang terkatup dibuka untuk menghasilkan bunyi, sedangkan pengucapan kata yang kedua, kedua bibir terkatup untuk beberapa saat sebelum pembentukan bunyi berikutnya. Namun penutur bahasa Indonesia mengetahui bahwa keduanya merupakan fonem /p/. Dalam bagian berikut dibahas sistem isyarat binatang dan perbandingannya dengan fonem.
4.1 SISTEM ISYARAT BINATANG
Sudah sejak lama diketahui bahwa binatang memiliki sistem komunikasi yang digunakan dalam spesies binatang itu tersendiri. Dalam sistem komunikasi binatang dapat ditemukan adanya isyarat vokal dasar. Jumlah isyarat vokal dasar itu tidak sama baik antara jenis binatang yang sama dengan spesies yang berbeda. Sebagai bandingan ialah keberadaan fonem dalam bahasa manusia, dan ketidakseragaman jumlah fonem bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Sebagai misal, bahasa Indonesia memiliki 33 fonem, bahasa Inggris memiliki 45 fonem, dan bahasa Italia 27 fonem. Bahasa-bahasa manusia bervariasi menurut jumlah fonemnya. Variasi itu berkisar antara 11 hingga 67. Manusi dapat saja menghasilkan lebih banyak bunyi yang berbeda dan juga dapat mempelajari bahasa-bahasa lain, tetapi mereka tetap menggunakan fonem-fonem dasar saja ketika berbicara dengan bahasa mereka sendiri.
Seperti halnya bahasa manusia, sistem isyarat binatang dapat dibagi ke dalam satuan-satuan isyarat dasar, dan jumlah satuan isyarat dasar binatang tertentu berada pada rentang yang mirip dengan jumlah fonem bahasa manusia. Hal ini dapat dibuktikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.1
Jumlah Isyarat Dasar Binatang

Spesies Binatang
Jumlah Isyarat
Dasar
1.      Ayam kampung
2.      Lembu
3.      Babi
4.      Rubah
5.      Lumba-lumba air tawar
6.      Paus pilot
7.      Lumba-lumba lautan Pasifik
8.      Kera malam
9.      Babon
10.  Gorila
11.  Simpanse
12.  Kera Jepang

2
8
23
36
7
7
19
10
15
23
25
37


13.  Bahasa Manusia

11-17

Sumber: adaptasi dari Russell dan Russell dalam Minnis (1973)

Berdasarkan data dalam tabel tersebut, kita mungkin akan menganggap bahwa bahasa manusia dalam sistem isyarat binatang hampir sama. Namun jumlah satuan isyarat tidak dapat dijadikan ukuran. Kita tidak memandang bahwa kera Jepang, dengan 37 satuan isyarat pastilah lebih canggih daripada para penutur bahasa Hawaii yang memiliki 13 vokal dasar. Oleh karena itu, apabila kita ingin mengetahui apakah binatang memiliki bahasa, kita harus mempertimbangkan beberapa karakteristik bahasa dibandingkan dengan kode isyarat binatang.
Kode-kode isyarat binatang ada yang menyerupai karakteristik bahasa manusia. Misalnya, sebagaimana manusia menyampaikan bahasa dengan bunyi, binatang juga memiliki bunyi-bunyi panggilan (call). Di samping itu, binatang juga memiliki kode isyarat berupa sentuhan dan bau-bauan. Namun kode-kode isyarat binatang tetap tidak dapat disebut sebagai bahasa sebab belum menunjukkan ciri-ciri bahasa yang hakiki. Bahasa yang hakiki memuat panduan bebas lambang-lambang yang dibatasi oleh kaidah-kaidah gramatika dan sintaksis logis, menunjukkan hubungan lambang-lambang dan melambangkan hubungan antara benda, individu, dan peristiwa (Russell dan Russell dalam Minnis 1973). Di samping itu, bahasa yang hakiki yang melibatkan komunikasi yang hakiki pula. Pengungkapan kode-kode isyarat tanpa disertai kehadiran pihak lain bukanlah komunikasi yang sebenarnya, seperti yang terjadi pada binatang. Pada binatang, pengungkapan kode-kode isyarat yang hanya diikuti oleh tanggapan otomatis dari spesies lain tidak dapat disebut sebagai komunikasi. Oleh karena itu, kode-kode isyarat yang bersifat otomatis tidak masuk kategori bahasa.
Berdasarkan keingintahuan akan kode-kode isyarat binatang, kode isyarat binatang tertentu telah dikaji oleh para pakar. Hasil kajian mereka mengenai kode-kode isyarat binatang yang memiliki bakat tinggi itu dapat dijadikan dasar untuk mengetahui apakah binatang memiliki bahasa yang hakiki. Kode isyarat yang dibahas dalam bagian berikut ialah kode isyarat lebah, lumba-lumba, dan kera.
Tarian Lebah
Orang yang terkenal dalam studi tarian lebah ialah Karl von Frisch, dibantu oleh  Martin Lindauer  dan rekan-rekan kerjanya. Namun demikian, Frisch  bukanlah orang pertama yang mengamati lebah. Pada tahun 1788, seorang pastur bernama Ernst Spitzner melaporkan bahwa ketika seekor lebah madu menemukan nektar, ia kembali ke sarang dan melakukan tarian. Spitzner menyimpulkan bahwa lebah yang melakukan tarian sekembali dari penemuan madu itu sebenarnya memberitahu lebah-lebah lain mengenai sumber madu yang ditemukannya. Sayangnya, pengamatan Spitzner tidak berlanjut. Dua abad kemudian, Frisch berhasil menemukan “bahasa” lebah madu Karniola (apis mellifera carnica). Spesies lebah yang lain, misalnya lebah Afrika Utara (apis mellifera intermissa), lebah Kaukasia (apis mellifera caucasica), lebah Italia (apis mellifera lingustica) dan lebah Mesir (apis mellifera fasciata) memiliki “dialek” yang berbeda.
Ketika seekor lebah Karniola menemukan sumber madu baru dalam jarak 10 meter dari sarangnya, ia kembali ke sarang dan menjatuhkan tetesan madu. tetesan madu itu segera dikerumuni oleh lebah-lebah lain. Kemudian ia mulai menari dalam bentuk lingkaran; pertama-tama ia memutar, kemudian memutar lagi ke arah yang berlawanan, lagi berputar lagi ke arah yang berlawanan, dan seterusnya. Tarian itu disebut tarian memutar (round dance). Lebah-lebah yang lain mengikutinya menari berputar. Setelah menari, ia pergi ke sumber madu yang merupakan sekuntum atau sekelompok bunga. Lebah-lebah lain tidak mengikutinya, melainkan berterbangan ke berbagai penjuru. Namun tidak lama kemudian lebah-lebah itu menemukan sumber makanan baru itu. Lebah-lebah itu dapat menemukan sumber madu itu karena mengikuti bau madu yang menempel pada lebah penari yang membawakan berita madu itu. Berdasarkan bau madu itu pula lebah dapat menentukan jenis bunga yang merupakan sumber madu yang dikabarkan. Dalam sebuah eksperimen, lebah-lebah yang diberi tahu oleh seekor lebah penari menemukan bunga yang benar di Kebun Raya Munich, pada saat itu terdapat 700 jenis bunga yang sedang mekar. Oleh karena itu, tarian memutar itu memberitahu lebah-lebah lain untuk keluar sarang, dan mencari sumber madu di sekitar sarang, serta bau madu yang melekat pada tubuh penari memberitahu lebah-lebah itu bunga apa yang harus dicari.
Lebah madu juga dapat menemukan makanan dalam jarak lebih dari sepuluh meter dari sarangnya. Lebah diketahui terbang lebih dari 13 kilometer untuk mencari madu. Ketika seekor lebah madu Karniola menemukan makanan dalam jarak antara 100 meter hingga sepuluh kilometer dari sarang, ia kembali ke sarang dan menawarkan madu yang ditemukannya dengan menampilkan jenis tari lain, yaitu tari goyang sengat (tail wagging dance). Ia menari dalam bentuk garis lurus untuk jarak tertentu, dengan menggoyangkan sengatnya dan mendengungkan sayapnya ketika terbang. Kemudian ia berhenti berdengung dan menggoyangkan sengatnya lagi, dan seterunya. Lebah-lebah lain yang berminat menemukan madu mengikutinya berputar. Seperti halnya tarian memutar, tari goyang sengat yang memberitahu lebah-lebah lain bahwa terdapat sumber makanan. Bunga apa yang harus dicari, berdasarkan baunya. Lebih dari itu, tarian itu juga menunjukkan jarak antara sarang dan sumber makanan itu dan arah mana yang harus ditempuh. Dengan demikian, dalam jarak sampai sepuluh kilometer pun lebah-lebah yang mengkaji tarian itu dapat terbang dengan arah yang tepat sebagaimna yang ditunjukkan dan dapat menemukan bunga-bunga yang mengandung madu itu.
Jarak sumber makanan disampaikan melalui tempo tarian. Tempo cepat menunjukkan jarak yang tidak terlalu jauh, tempo pelan menunjukkan jarak yang lebih jauh. Apakah jaraknya semakin jauh, goyanganya pun diperlama. Lebah-lebah yang mengikuti tarian itu mengkaji frekuensi dan lama goyang sengat dan menghitung lama rata-ratanya, kemudian mereka itu menerjemahkannya untuk jarak sumber makanan dengan suatu kaidah matematis.
Teori goyang sengat kadang-kadang dilakukan dengan permukaan horizontal di luar sarang lebah. Apabila tarian horizontal dilakukan, lebah penari menunjukkan arah makanan dengan mengarahkan gerakan terbangnya pada arah yang dimaksudkan. Lebah dapat melakukan tarian apabila ia melihat matahari untuk menunjukkan kedudukan matahari terhadap lebah-lebah yang lain. Ia mengambil kedudukan seperti ketika ia melihat matahari pada sumber makanan dengan sudut yang sama dengan matahari seperti sudut ketika ia di tempat sumber makanan. Skema tarian goyang sengat dapat dilihat pada gambar berikut.


Gambar



Baru goyang sengat. Jumlah tarian lebah persatuan waktu dengan pola yang lengkap (1-2-1-3) menunjukkan jarak sumber makanan.
Tarian lebah juga dapat dilakukan secara vertikal dalam serang. Dengan tarian itu ia menerjemahkan kedudukan sudut terbang dan kedudukan matahari ke dalam jarak antara gerakan tari dan arah vertikal lurus ke atas, dengan ketepatan tinggi. Lebah juga dapat mengomunikasikan jarak dan tempat sumber  makanan kendatipun terdapat angin, dan ia sendiri sebelumnya tidak pernah menempuh rute itu. Tarian lebah juga dapat manis atau kurang manisnya makanan, kemudahannya menemukan, dan banyak tidaknya sumber makanan. Kendatipun terdapat lebah yang menari, tidak semua lebah yang lain segera mengikuti tarian itu kalau memang tidak berminat untuk mencicipi makanan baru itu.
Pada tanggal 14 Agustus 1946, Von Frisch kembali dari perjalananya di gunung ke ladang tempat eksperimennya. Anak-anak perempuannya memberi tahu bahwa mereka telah menyediakan tempat baru berisi air gula untuk lebah-lebah dalam sarang eskperimentalnya, tetapi mereka tidak memberitahu ayahnya di mana letak tempat air gula itu. Frisch harus bertanya pada lebah-lebahnya. Von Frisch benar-benar “bertanya” pada lebah-lebahnya dengan  mengamati lebah-lebah itu, dan ia berhasil menemukan tempat berisi air gula itu. Pada tanggal 22 September 1951, ketika melakukan eksperimen, Von Frisch memperhatikan seekor lebah terus menerus menari di dalam sarang. Lalu dia mengkaji tarian itu dan menandai tempat yang ditunjukkan lebah itu pada peta, dan dia menyimpulkan bahwa di tempat yang berjarak 600 meter itu terdapat seorang penduduk memiliki madu yang menahan lebah-lebah Frisch. Seorang asisten  Frisch  menuju tempat yang ditunjukkan dan menemukan seorang telah menuangkan madu dan menjemurnya untuk memanggil lebah-lebah yang dimilikinya. Asisten  Frisch memberitahu orang tersebut bahwa lebah-lebah  Frisch  mencuri madunya dan memberitahu  Frisch keberadaan madu orang tersebut. Namun orang itu menganggap asisten Frisch bercanda dan dia tidak mempercayainya, padahal cerita itu bukanlah rekaan, tetapi merupakan kebenaran.
Kendatipun komunikasi lebah memiliki perlambangan yang tepat dan rinci, terdapat banyak indikasi komunikasi lebah merupakan isyarat otomatis dan bukan bahasa yang hakiki. Sebuah eksperimen dapat membuktikan pernyataan itu. Lebah menggunakan tari goyang sengat menurut variasi jarak yang disampaikan. Pada jarak yang pendek, misalnya lebah menggunakan tarian memutar seperti biasa. Pada suatu ketika Karl Von Frisch dan rekan-rekannya menempatkan sarang lebah-lebah itu pada fondasi beton sebuah menara radio, dan membawa sepuluh sengat lebah pada jarak 50 meter ke arah atas melalui dalam menara pada suatu tempat yang berisi air gula. Kesepuluh lebah itu kemudian terbang turun menuju sarang dan menari selama empat jam. Namun komunikasi lebah tidak mengandung lambang untuk “atas” dan “bawah.”  Lebah-lebah penari itu hanya dapat melakukan tarian memutar yang menunjukkan bahwa sumber makanan itu tidak jauh secara horizontal. Jelas lebah-lebah yang lain keluar dan beterbangan di sekitar sarang mendekati permukaan tanah. Namun tidak satu pun lebah yang berinisiatif untuk terbang ke atas menara menuju ke tempat air gula pada kedudukan tempat di atas sarang. Menurut Frisch, lebah tidak dapat berkomunikasi apabila dihadapkan pada tugas yang tidak biasa dilakukan. Oleh karena itu, komunikasi lebah, tidak seperti halnya bahasa manusia, tidak dapat menghasilkan lambang-lambang baru untuk mendeskripsikan peristiwa yang sama sekali baru. Dengan demikian, wajarlah kalau dikatakan bahwa komunikasi bukanlah bahasa yang hakiki.
Bunyi Lumba-lumba
Lumba-lumba merupakan spesies mamalia yang memiliki prilaku luar biasa dibandingkan dengan mamalia lain dengan mamalia lain. Kehidupan lumba-lumba dapat memiliki hubungan dalam tiga generasi, yaitu nenek, ibu, dan anak. Lumba-lumba kadang-kadang memerankan tugas yang dikenal sebagai binatang mencintai anaknya. Anak lumba-lumba yang dilahirkan biasanya oleh induknya dibawa ke permukaan air agar dapat bernapas. Induk lumba-lumba tidak dapat dipisahkan dari anaknya meskipun anaknya sudah mati karena sakit. Seekor induk lumba-lumba sering kali “menggendong” kepala anak lumba-lumba yang telah mati, dan dia meninggalkannya sebentar hanya ketika ia perlu bernapas ke permukaan air. Hubungan yang erat antara induk dan anak lumba-lumba memungkinkan terjalinnya permainan dan kegiatan-kegiatan yang lain. Lumba-lumba juga dikenal sebagai binatang yang setia kawan. Seekor lumba-lumba yang sakit biasanya akan dipotong secara individu atau beramai-ramai oleh lumba-lumba yang lain agar tetap dan mengambil oksigen untuk dapat bernapas dan tidak akan ditinggalkan. Pada saat ditolong atau memberi pertolongan sering kali dikeluarkan bunyi-bunyi panggilan antara si sakit dan penolongnya. Mungkin saja di antara kedua pihak itu terjadi komunikasi dalam bahasa lumba-lumba dan membicarakan apa yang dilakukan.
Perilaku komunikasi lumba-lumba telah menjadi kajian yang cukup intensif sejak dasawarsa 1940. Lumba-lumba dipandang sebagai binatang yang memiliki kemampuan menyampaikan bunyi isyarat. Kehidupan laut tidak memungkinkan lumba-lumba berkomunikasi dengan sesama spesiesnya menggunakan ekspresi wajah atau gerakan tubuh. Komunikasi lumba-lumba dilakukan dengan pengeluaran bunyi siul. Dari bunyi-bunyi yang dihasilkan lumba-lumba dapat diketahui bahwa lumba-lumba memiliki urutan dan panduan bunyi yang lebih rinci daripada binatang lain, kendatipun hakikat bunyi-bunyi itu masih diperdebatkan, yaitu apakah dikeluarkan secara emosional ataukah diatur dengan gramatika atau sintaksis yang logis.
John. J. Dreher  dan  Rene-Guy Busnel (Russel dan Russel dalam Minnis, 1973) telah mengkaji siulan lumba-lumba dan mengibaratkan seperti bahasa manusia yang berupa bahasa bernada (tonal language). Dreher  dan  Busnel menyajikan satuan siulan yang berbeda dalam bentuk kontur dan urutan bunyi itu dipahami sebagai urutan yang memiliki kesatuan makna. Metode penulisan semacam itu tergantung pada analisis frekuensi dalam satuan bunyi dan bagaimana bunyi-bunyi itu dipadukan. Di samping itu, terjadinya satuan bunyi dan paduan tiap-tiap bunyi itu dihubungkan dengan apa yang sedang dilakukan lumba-lumba lain pada saat mendengarkan bunyi-bunyi itu.  Dreher juga memainkan kembali rekaman panduan bunyi-bunyi yang berbeda dan mendapatkan tanggapan dalam bentuk tindakan dan rangkaian bunyi panggilan lumba-lumba yang mendengar. Namun demikian, jumlah satuan bunyi itu berkaitan dengan situasi emosional, seperti panggilan yang menunjukkan ketertekanan ataupun keinginan menjalin hubungan birahi. Dalam sebuah eksperimen telah direkam rangkaian bunyi sahut-menyahut dari dua ekor lumba-lumba yang dipisahkan sehingga tidak dapat saling melihat dalam bak penampungan. Meskipun terdapat petunjuk bahwa seekor lumba-lumba dapat membedakan panggilan dari lumba-lumba lain dengan rekaman suara lumba-lumba, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa rangkaian bunyi sahut-menyahut itu merupakan percakapan nyata dari kedua lumba-lumba itu.
Pada tahun 1966  Jarvis Bastian (Russel dan Russel dalam  Minnis, 1973:227) melaporkan sebuah hasil penelitian yang menarik. Dua lumba-lumba hidung botol Atlantik jantan dan betina yang diberi nama  Buzz  dan  Dorris. Dipelihara dalam sebuah bak penampungan dilatih untuk bekerja sama dalam menekan pedal-pedal yang dihubungkan dengan sinyal otomatis yang dapat memberikan makanan berupa ikan pada saat pedal-pedal itu ditekan. Pada masing-masing bagian bak ditempatkan sepasang pedal. Setelah melalui tahap-tahap latihan yang cukup rumit, bak tersebut disekat menjadi dua untuk memisahkan keduanya.
Cara kerja penelitian itu ialah sebagai berikut. Kepala kedua lumba-lumba itu ditunjukkan nyala lampu yang lain dengan dua cara, secara sepintas atau lebih lama. Apabila nyala lampu kedua itu cukup lama, pedal kanan harus diputar. Sampai pada tahap itu lumba-lumba betina dapat melihat sinyal lampu. Kedua lumba-lumba itu akan mendapatkan ikan apabila si jantan menekan pedal yang benar di bagian bak yang ditempatinya, kemudian si betina menekan pedal yang benar di bagian bak yang ditempatinya. Dengan demikian, si jantan harus menekan pedal yang benar tanpa melihat sinyal lampu yang menunjukkan pedal mana yang harus ditekan. Lumba-lumba jantan hanya dapat melakukan hal itu apabila lumba-lumba betina memberitahunya dengan bunyi-bunyi siul yang dikeluarkannya mengenai pedal mana yang harus ditekan ketika si betina melihat sinyal lampu cukup lama atau sepintas. Setelah mengalami kegagalan berkali-kali, lumba-lumba jantan dapat menekan pedal yang benar dan kedua lumba-lumba itu berhasil memperoleh ikan dengan tingkat kebenaran lebih dari 90 persen.
Hasil analisis bunyi lumba-lumba betina menunjukkan bahwa si betina membuat bunyi siul dengan pulsa yang berbeda ketika sinyal lampu itu menyala cukup lama atau sepintas. Bunyi lebih panjang untuk sinyal lampu yang menyala lebih lama, dan bunyi lebih pendek untuk sinyal lampu yang menyala sekejap. Dari penelitian itu mungkin sekali untuk disimpulkan bahwa lumba-lumba jantan dapat mendengar dan membedakan kedua jenis bunyi yang didengarnya dari si betina. Setelah berpengalaman dengan permainan itu, kegagalan komunikasi antara kedua lumba-lumba dapat dibuat apabila si betina tidak diberi ikan, apabila lampu tidak dinyatakan, dan apabila bak itu disekat dengan benda tahan suara. Dari penelitian itu tampaknya dapat dipahami bahwa lumba-lumba betina memberitahukan kepada lumba-lumba jantan tetang lama tidaknya nyala sinyal lampu itu sehingga si jantan dapat menekan pedal yang benar sebagai tanggapan pemberitahuan si betina.
Kepada lumba-lumba itu ditunjukkan situasi yang baru, dan tidak seperti halnya dengan lebah, lumba-lumba berhasil memecahkan. Apakah hal itu merupakan bahasa yang hakiki? Pada saat itu jawabannya masih belum ditemukan. Pada tahun 1969 Bastian menerbitkan temuannya yang lain dari temuan itu dapat diyakini bahwa lumba-lumba tidak memakai bahasa yang hakiki. Hal itu dapat diketahui karena lumba-lumba betina terus mengirim bunyi-bunyi yang berbeda mengenai sinyal lampu yang cukup lama atau sebentar ketika sekat bak penampungan itu dihilangkan, dan si jantan sendiri dapat melihat sinyal lampu itu. Bahkan ketika si jantan dientaskan dari bak penampungan si betina tetap menekan pedal-pedal itu meskipun mengetahui bahwa si jantan sudah tidak ada, dan si betina terus “berbicara” sendiri. Ternyata lumba-lumba betina sudah terkondisi dengan bunyi yang berbeda karena dengan bunyi-bunyi itu si betina dapat memperoleh ikan, tanpa menyadari kalau dibantu si jantan dengan menekan pedal yang benar. Dengan demikian, seperti halnya lebah, lumba-lumba tidak dapat dikatakan memiliki bahasa yang hakiki.
Isyarat Visual Kera
Selain lebah dan lumba-lumba, binatang yang dipandang memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik ialah kera. Kera merupakan binatang yang lincah dan memiliki wajah yang dapat digerakkan. Kebanyakan spesies kera memiliki repertorium bunyi dan kera yang tinggal di hutan-hutan lebah sangat tergantung pada bunyi itu. Berbeda dengan spesies kera yang tinggal di hutan lebat, spesies kera yang tinggal di daerah lapang lebih memanfaatkan isyarat visual dan ekspresi wajah daripada bunyi. Kera resus (macca mulatta) memiliki 73 satuan isyarat yang berbeda dan dari jumlah itu hanya 10 merupakan bunyi. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Stuart A. Altmann dicatat adanya peristiwa isyarat sebanyak 5.504 pada kera resus. Kendatipun isyarat visual kera resus cukup banyak, kekayaan isyarat visual dan ekspresi wajah kera resus belum dapat menyamai kekayaan isyarat visual dan ekspresi wajah simpanse.
Berbeda dengan isyarat lebah madu yang berkaitan dengan informasi mengenai makanan, kondisi cuaca, rasa makanan dan jarak makanan serta sarang, isyarat kera berkaitan dengan kondisi emosi, kondisi peristiwa, dan hubungan dengan sesamanya. Thomas T. Struhsaker meneliti kera vervet (cercopithecus aethiops) dan hasilnya menunjukkan bahwa spesies kera memiliki tiga puluh enam isyarat vokal. Tujuh di antara isyarat itu mengacu ke peristiwa yang terjadi di sekitar habitatnya. Dia menemukan bahwa bunyi-bunyi kera terjadi dalam sedikitnya 21 situasi yang berbeda dan dapat menghasilkan sedikitnya 22 tanggapan dari kera yang mendengarnya. Sebuah hasil penelitian intensif tentang komunikasi kera menunjukkan bahwa satu spesies kera dapat memiliki kode isyarat yang berbeda. Di samping itu, sekelompok masyarakat kera dari spesies yang sama dapat memiliki aspek-aspek perilaku yang berbeda. Sekelompok spesies kera Jepang (macaca fuscata), misalnya, mencabut umbi-umbian yang dapat dimakan, sekelompok lain menyerang padi, sedangkan yang lain lagi tidak mengganggu. Tampak bahwa kera-kera muda mendapatkan pelajaran mengenai “adat” dalam kelompoknya dengan cara meniru kera-kera yang lebih tua atau induknya. Kadang-kadang sebuah kebiasaan baru dilakukan oleh seekor kera muda dan kebiasaan itu diterima oleh induk kera yang lama kelamaan menyebar ke kelompok kera-kera lain dalam garis keluarga kera. Pada akhirnya menyebar kepada semua kera dalam kelompok itu, kemudian diturunkan pada generasi berikutnya.
Dalam sebuah kelompok masyarakat kera Jepang di Pulau Koshima telah tertanam kebiasaan mencuci ubi jalar sebelum kera-kera itu memakannya dan memisahkan biji-biji gandum dari pasir yang bercampur dengan biji-biji itu. Dengan demikian setiap kelompok kera memiliki “kebudayaan” sendiri dan hal itu mencakup pula isyarat visual mereka. Kera-kera Khosima telah menguasai isyarat baru untuk meminta makanan. Sebuah masyarakat kera resus dilaporkan mempunyai kebiasaan mengecap bibir mereka sebagai isyarat persahabatan dan merentangkan tangan serta menutupnya lagi di muka dadanya secara berulang untuk menunjukkan adanya ancaman.
Dibandingkan dengan komunikasi lumba-lumba, kode-kode isyarat kera lebih sering diteliti. Dari hasil-hasil penelitian itu dapat diyakini bahwa kera seperti halnya binatang lain ternyata hanya melakukan kode-kode isyarat secara otomatis yang dipadukan menurut emosi, bukanya menurut kaidah-kaidah logis. Di samping itu, juga dapat disimpulkan bahwa kera tidak mengembangkan bahasa hakiki. Namun yang jelas, banyak paduan yang dapat dilakukan oleh kera. Dari kemungkinan tentang banyaknya paduan yang dapat dilakukan itu, beberapa ilmuwan telah mencoba mengajarkan bahasa manusia kepada simpanse, yang dipandang merupakan spesies kera yang paling pintar. Di samping itu, simpanse dipandang menyerupai manusia, baik dalam hal intelegensinya, keingintahuannya, dan kebiasaan sosialnya (Terrace  dalam Clark, et.al, 1981).
4.2 MENGAJARKAN BAHASA MANUSIA KEPADA SIMPANSE
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali ditemukan peristiwa yang menunjukkan seolah-olah binatang dapat memahami apa yang diucapkan oleh manusia. Para pengendara kuda dapat mengatakan go untuk meminta kuda berhenti. Dalam arena sirkus, sejumlah binatang mau berlari, melompat, atau berguling-guling sesuai dengan perintah yang diucapkan pawangnya. Jika demikian, apakah contoh-contoh itu layak digunakan sebagai bukti bahwa binatang dapat memahami bahasa manusia? Jawabannya adalah tidak. Menurut kajian tentang perilaku binatang, binatang menjalankan perilaku tertentu sebagai tanggapan pada rangsangan bunyi, tetapi sebenarnya tidak “memahami” makna kata yang disampaikan. Jika sulit membayangkan bahwa binatang memahami bahasa manusia, tentunya tidak mungkin binatang mampu meniru dan menghasilkan bahasa manusia. Selama ini pun belum teramati adanya binatang yang belum mampu menghasilkan isyarat dari jenis binatang lain, bahkan dalam satu jenis dengan spesies lain. Hal itu juga terjadi pada simpanse yang dikenal sebagai binatang yang menyerupai manusia.
Telah lama diketahui bahwa simpanse dapat menanggapi enam puluh kata manusia. Namun untuk dapat menyimpulkan apakah simpanse mampu menguasai bahasa manusia secara hakiki, telaah dilakukan serangkaian percobaan dengan mengajar simpanse untuk menggunakan kata-kata manusia dalam berkomunikasi, membuat panduan kata-kata itu dan menggunakannya secara benar. Selain itu, upaya itu dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah seekor simpanse dengan seorang manusia dapat berbicara tentang berbagai hal. Upaya mengajar simpanse untuk dapat berbicara telaah dilakukan beberapa pakar. Di antaranya ialah sepasang ilmuwan bernama Keith J. Hayes dan istrinya Catherine Hayes dengan simpanse yang diberi nama Vicki, R.Allen Gardner dan istrinya  Beatrice T. Gardner  dengan simpanse yang diberi nama Washoe, David Premack dan istrinya Ann Premack dengan simpanse yang diberi nama Sarah, Duane Rumbaugh  dengan simpanse yang diberi nama Lana, dan Herbert S. Terrace dengan simpanse yang diberi nama Nim Chimpsky. Dalam bagian berikut disajikan eksperimen dan hasil pengajaran bahasa manusia kepada simpanse Vicki, Washoe, Sarah, Lana dan Nim Chimpsky.
Vicki
Hayes dan Hayes (Clark, et.al, 1981) memelihara seekor simpanse betina yang diberi nama Vicki, dan membesarkannya seperti cara orang membesarkan seorang anak serta diberi berbagai simulasi sebagaimana yang diberikan kepada bayi manusia, tetapi dilengkapi dengan alat pengajaran yang canggih. Mereka berharap simpanse itu dapat menirukan kata-kata manusia yang didengarnya dan dapat mempelajarinya, kemudian digunakannya secara benar dalam keluarga tempat simpanse itu dibesarkan. Kedua psikolog itu mengajarkan Vicki untuk mengucapkan empat kata: “momma,” “poppa,” “up,” dan “cup.” Agar Vicki dapat menirukan kata-kata itu, para pengajarnya harus menggerakkan bibir sedemikian rupa untuk memberikan contoh pengucapan yang benar kepada Vicki. Pada akhirnya Vicki dapat mempelajari posisi bibir dan mulutnya dengan dibantu kedua tangannya untuk menghasilkan kata-kata yang diminta oleh kedua orang tua angkatnya. Namun meskipun Vicki dapat mengucapkan kata-kata seperti cara manusia  mengucapkannya, belum dapat dikatakan bahwa Vicki memahami makna kata-kata itu. Hasil eksperimen itu ternyata kurang menggembirakan. Setelah enam tahun upaya dilakukan, Vicki memang dapat belajar kata itu. Akan tetapi Vicki mau menirukan kata-kata itu hanya setelah kata-kata itu diucapkan oleh salah seorang pengajarnya, dan hanya ia kalau diberi makanan atau minuman setelah itu. Dapat disimpulkan dari eksperimen Hayes dan Hayes ialah seekor simpanse dalam mempelajari “ujaran” yang tdak alamiah itu untuk menghasilkan balasan makanan dan minuman.
Washoe
Pada bulan Juni 1966 sepasang peneliti lain memulai eksperimen dengan seekor simpanse betina berusia satu tahun yang diberi nama Washoe (yang berasal dari nama sebuah daerah tempat eksperimen itu dilakukan). Mereka ialah R. Allen Gardner dan Beatrice T. Gardner. Berdasarkan pengamatan pada film mengenai Vicki yang tidak dapat mengucapkan kata-kata yang diajarkan, mereka mendapatkan gagasan untuk mengajar simpanse tidak dengan suara, tetapi dengan isyarat. Berdasarkan kajian pengalaman Hayes mengajar simpanse yang menunjukkan bahwa simpanse lebih peka kepada isyarat visual daripada isyarat vokal. Mereka mengajarkan kepada Washoe bahasa isyarat Amerika (American Sign Language) yang digunakan oleh penyandang tunarungu di Amerika Serikat. Dengan bahasa itu konsep-konsep atau kata-kata bahasa Inggris diwujudkan dengan isyarat yang dibuat dengan tangan. Kebanyakan lambang bahasa isyarat itu bersifat semena, dan semua lambang dipadukan menurut prinsip-prinsip gramatika dan sintaksis bahasa Inggris. Gardner dan Gardner dibantu para asistennya mendidik Washoe secara bergantian sehingga ia tidak pernah terlepaskan dari perhatian manusia. Mereka memainkan berbagai permainan untuk menyenangkan Washoe. Para pengasuh Washoe tidak diperkenankan memakai bahasa lisan. Mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat dengan harapan Washoe dapat memperoleh kemampuan berbahasa isyarat. Hal itu didasarkan pada analogi dengan anak manusia yang mampu menguasai kemahiran berbicara dengan kesempatan yang dimiliki untuk bertemu dan mendengarkan orang dewasa berbicara dengan kesempatan yang dimiliki untuk bertemu dan mendengarkan orang dewasa berbicara. Mereka juga memotivasi Washoe agar mempelajari bahasa isyarat itu dengan cara menunjukkan posisi tangan secara berulang-ulang, dengan cara membenarkan posisi tangan Washoe pada saat membuat isyarat, atau dengan memperkenalkan berbagai macam obyek dan mainan untuk mengembangkan kosakata yang dimilikinya, sehingga dapat mengembangkan kemampuan komunikasi dengan tangan.
Hasil mengajar Washoe dapat dijelaskan sebagai berikut. Setelah dua tahun pengajaran, Washoe dapat menggunakan 34 kata secara benar dalam situasi yang tepat (berdasarkan laporan sedikitnya tiga orang pengasuh). Apabila Washoe mempelajari sebuah “kata” baru dia segera menerjemahkannya pada sebuah obyek tertentu, misalnya papan tulis atau sekelompok obyek (misalnya semua kunci yang ada). Ia secara spontan meminta perhatian manusia pada obyek dengan cara membuat obyek isyarat yang benar. Ia menggunakan isyarat “anjing” ketika ia melihat gambar anjing atau mendengar suara anjing (tanpa melihat anjing itu). Ternyata Washoe memiliki kemampuan untuk mengubah sebuah pola ke dalam pola yang lain. Tiga setengah tahun kemudian Washoe berhasil mengungkapkan 132 kata dan diperkirakan ia dapat memahami tiga kali kata yang dapat diungkapkannya. Ia dapat menggunakan bahasa isyarat yang bervariasi dari pesawat terbang, bayi, pisang sampai pada jendela, wanita, dan kamu.
Hasil yang dicapai Washoe masih lebih banyak lagi. Washoe juga dilaporkan mulai menemukan paduan isyarat dan menggunakan dengan cara yang benar Washoe juga dapat memadukan bentuk-bentuk untuk menghasilkan kalimat-kalimat yang baru. Di antara paduan kata-kata yang diciptakannya ialah: buka makanan minuman, untuk membuka kulkas, buka bunga, agar dibukakan pintu menuju ke kebun bunga; dan dengar makanan, ketika mendengar bunyi jam yang menandakan waktu makan.
Beberapa waktu sebelum  Gardner dan Gardner menerbitkan hasil mereka untuk pertama kalinya (Agustus 1969), Washoe telah mempelajari pronomina saya dan kamu sehingga tampak bahwa paduan yang menyerupai kata-kata pendek sudah mulai muncul. Oleh karena Washoe dapat melakukan paduan isyarat untuk menguraikan barang dan keadaan baru secara tepat, eksperimen itu tampaknya dapat menunjukkan bahwa simpanse mampu mempelajari bahasa yang hakiki. Pada usia tiga tahun Washoe telah mempelajari banyak kata, tetapi apabila dibandingkan dengan manusia dalam taraf perkembangan yang sama, yaitu usia lima tahun, manusia masih lebih unggul sebab dapat menguasai berarus-ratus kata dengan panjang kalimat sekitar 4 sampai 5 kata.
Terbatasnya informasi yang diberikan oleh keluarga Gardner itu dapat digunakan untuk memutuskan apakah Washoe menyampaikan isyarat dan paduannya sesuai dengan situasinya menurut kaidah-kaidah gramatika untuk menciptakan makna tertentu atau tidak. Misalnya, apabila Washoe membuat isyarat beri saya ketika ingin diberi obyek tertentu dan membuat isyarat saya beri ketika ingin memberi sesuatu, maka dapat dikatakan bahwa ia telah menguasai sebuah kaidah gramatika sederhana. Namun tanpa mengetahui urutan kata dan penggunaannya tidaklah diketahui apakah Washoe benar-benar menciptakan makna tertentu dengan menggunakan kaidah-kaidah itu, ataukah ia hanya memadukan isyarat-isyarat itu secara acak. Hal lain yang diperdebatkan ialah paduan kata-kata yang dibuat Washoe pada situasi tertentu. Paduan kata-kata itu banyak dipengaruhi oleh isyarat-isyarat yang disampaikan oleh pengasuhnya. Hal itu di ketahui dari banyaknya jawaban Washoe juga mengambil dari isyarat yang telah disampaikan pengasuhnya. Misalnya:
Susun N          : Sampai panda?
Washoe           : Pandai Washoe
Susan N           : Pandai
Washoe           : Pandai
Susan N           : Siapa tolol?
Washoe           : Susan tolol
Susan               : Siapa
Washoe           : Washoe

Banyak paduan isyarat Washoe merupakan tiruan baik sebagian atau tiruan baik sebagian atau keseluruhan dari isyarat yang disampaikan para pengasuhnya. Pelajaran yang dapat dipetik dari eksperimen Gardner dan Gardner itu ialah diperolehnya pengalaman tentang pengajaran seekor binatang untuk menggunakan bahasa hakiki dan berkomunikasi dengan manusia yang mengajarinya. Washoe pun mengukir sejarah sebagai simpanse pertama yang berkomunikasi dengan kata-kata dalam bahasa alamiah manusia.

Sarah
Hampir bersamaan dengan periode pengajaran Washoe,  David Premack dan istrinya Ann Premack menawarkan metode pengajaran baru pada simpanse. Di antara empat simpanse yang diajar, yang utama ialah seekor simpanse betina bernama Sarah yang mulai diajar pada usia empat tahun. Sarah diajar bahasa buatan yang disusun dari lempengan-lempengan plastik. Bentuk maupun warna lempengan plastik itu tidak berhubungan dengan maknanya. Misalnya, untuk apel lempengan itu berupa segitiga biru dan konsep sama ditunjukkan dengan lempengan bergerigi berwarna oranye.
Pengajaran Sarah dilakukan secara sederhana. Sarah dan pengajarnya duduk di bangku secara terpisah. Sarah ada di dalam kandang dan pengajarnya ada di bagian ujung bangku itu. untuk mengajarkan nama makanan kepada Sarah, pengajarnya akan menukar makanan itu untuk lempengan plastik yang tepat. Ketika mengajarkan konsep apel, pengajar Sarah menempatkan sepotong apel pada jarak yang tidak dicapai oleh Sarah. Kemudian pengajar menerapkan dua macam prosedur pengajaran. Pertama, sebuah lempengan plastik biru diletakkan dalam jangkauan Sara dan pengajarnya tidak akan memberinya apel apabila ia tidak meletakkan segi tiga biru itu pada sebuah “papan bahasa” di depannya. Kedua, Sarah diharuskan memilih segi tiga biru dari sekumpulan lempengan lain yang mengandung arti jenis makanan lain. Apabila ia memilih lambang selain lempengan biru itu, maka dia diberi makanan yang dilambangkan dengan lempengan yang diambil itu. Sarah tidak banyak mengalami kesulitan dalam belajar menggunakan lempengan plastik biru untuk memperoleh beberapa potong apel yang diinginkannya.

Gambar


Beberapa contoh “kata-kata”
yang dilambangkan dengan lempengan-lempengan
Plastik dalam bahasa Sarah


Apabila Sarah tela mempelajari sebuah kata tertentu. Pengajarannya mengharuskannya untuk menambahkan kata-kata sebelum mendapatkan makanan yang diinginkan. Misalnya, pengajar menginginkan Sarah menghasilkan urutan: Mery beli apel Sarah. Ia diharuskan menggunakan beri setelah apel pada papan bahasanya. Kemudian, ia diharuskan menggunakan lambang-lambang itu dalam urutan yang tepat. Apabila ia dapat menghasilkan beri apel, ia akan diberi apel, tetapi apabila keliru dengan apel beri,  maka ia tidak diberi apel.

Gambar


Urutan lempengan yang disusun Sarah secara vertikal untuk meminta Mery (salah seorang pengajarnya) memberinya apel.
Tahap berikutnya, ia diajar menghasilkan urutan tiga kata Mery beri apel. Urutan dua lambang beri apel tidak lagi diterima, meskipun ia dapat menghasilkan urutan itu dengan benar. Pada tahap terakhir ia diminta mengurutkan empat lambang yang bermakna Mery beri apel Sarah. Untuk mengetahui nama para pengajar dan namanya sendiri, lambang-lambang nama dikalungkan pada para pengajar dan pada Sarah sendiri. Pada sebuah eksperimen Gassie, nama seekor simpanse yang lain, didudukan dekat Sarah. Apabila Sarah menghasilkan urutan Mery beri apel Gussie, maka Gussie diberi apel. Namun kemudian Sarah jarang membuat kekeliruan seperti itu.
Premack juga mengajar Sarah untuk “membaca” urutan lempengan plastik. Setiap urutan merupakan perintah untuk melakukan sesuatu terhadap obyek-obyek yang ditempatkan di depannya. Kepada Sarah dapat ditunjukkan sebuah piring, apel, mangkuk, buah pir, dan perintahnya ialah Sarah memasukkan apel piring. Sarah akan diberi makanan apabila ia dapat memasukkan apel ke dalam piring. Dia tidak diberi makanan apabila menempatkan apel ke dalam mangkuk atau meletakkan buah pir dalam piring. Sarah cepat mempelajari perintah semacam ini; Sarah memasukkan apel mangkuk, Sarah masukkan buah pir piring, dan Sarah masukkan buah pir mangkuk. Pada tahap berikutnya dia diminta melaksanakan perintah yang cukup rumit seperti Sarah apel mangkuk buah pir piring masukkan. Di sini masukkan mengacu pada dua tindakan: memasukkan apel ke dalam mangkuk dan memasukkan buah pir ke dalam piring. Permack menganggap kemampuan Sarah melakukan tugas-tugas itu merupakan bukti bahwa Sarah memahami bahwa hubungan hierarkis antara masukkan dan frase apel mungkin dan buah piring pir.
Lana
Lana adalah seekor simpanse betina diajar oleh Duane Rumbaugh dan beberapa kawannya di Pusat Primata Yerkes, di Atlanta, Geogia. Lana mulai diajar pada usia dua tahun. Rumbaugh mengajarkan sebuah bahasa yang menyerupai bahasa yang diajarkan kepada Sarah oleh Premack. Kata-kata yang diajarkan kepada Lana disebut Yerkis, dan kata-kata itu terdapat pada Keyboard dan monitor komputer. Setiap kunci memiliki leksigram yang berbeda. Leksigram itu berupa paduan salah satu warna dari sembilan konfigurasi geometrik yang ada pada kunci-kunci itu. Misalnya, air disimbolkan dengan bujur sangkar dengan lingkaran dan garis bergelombang.
Komunikasi dengan Lana dilakukan dengan komputer. Komputer segera menanggapi apa yang diminta Lana. Hasil belajar Lana tentang Yerkish tidak jauh berbeda dengan hasil belajar Sarah dengan lempengan plastik. Apabila Lana menginginkan makanan tertentu, ia harus minta komputer untuk menyediakannya dengan menekan urutan leksigram yang benar pada keyboard komputer. Apabila ia menginginkan sepotong apel, ia harus menekan urutan tolong mesin beri apel. Lana tidak akan menerima apel itu apabila urutan yang ditekannya tidak tepat, misalnya, tolong mesin apel beri, atau tolong mesin beri apel. Kalau Lana ingin melihat slide atau melongok jendela, maka ia harus menekan urutan yang berbeda. Supaya dapat melihat slide, Lana haruslah menekan: tolong mesin tunjukkan slide. Apabila ia menekan urutan berikut ini tolong mesin beri slide maka ia tidak akan diberi kesempatan melihat slide.
jh
jh
Tolong
beri
air
mesin
jh
jh
 







Beberapa “kata” Yerkish pada Komputer Lama.

Lana tidak hanya belajar “menulis” urutan yang benar, tetapi ia juga “membaca” urutan yang ditunjukkan oleh komputer. Dalam sebuah teks, kepada Lana ditunjukkan urutan yang benar. Dalam sebuah teks, kepada Lana ditunjukkan urutan yang tidak lengkap. Apabila urutan itu merupakan urutan gramatikal (misalnya, tolong mesin beri               ), maka Lana melengkapi urutan itu dengan menekan apel atau Cocacola. Kemudian ia diberi makanan atau minuman yang diminta. Apabila Lana tetap menekan urutan itu tidak sesuai dengan yang dimaksudkan (misalnya, mesin tolong beri          ), maka Lana tidak akan memperoleh apa-apa. Agar Lana dapat memperoleh makanan atau minuman yang diinginkannya, maka ia harus menghapus urutan yang tidak benar itu dan memulainya dengan urutan yang benar. Ternyata Lana mampu melakukannya. Ia mampu menyelesaikan urutan yang tidak lengkap dan juga menghapus urutan yang tidak tepat,  kemudian ia ganti dengan urutan lengkap yang sesuai dengan kaidah-kaidah Yerkish.
Baik Sarah maupun Lana menunjukkan kemampuan untuk menggunakan apa yang tampak seperti logogram yang mirip dengan penggunaan bahasa. Namun terdapat keraguan mengenai kemampuan bahasa itu. Di kemukakan bahwa ketika Lana menggunakan lambang “tolong,”  dia tidak harus mengerti makna bahasa Inggris yang berarti tolong. Tidak ada pilihan lain yang dapat digunakan untuk menggantikan tolong itu sebagaimana yang dapat dilakukan manusia untuk menghasilkan ujaran yang berbeda, tetapi bermakna sama. Simbol untuk “tolong” pada keyboard komputer pada dasarnya sama dengan tombol agar dapat mengoperasikan mesin-mesin bertombol tanpa harus mengetahui bahasa.
Nim Chimsky
Nim Chimsky adalah nama seekor simpanse jantan yang diajar oleh Herbert S. Terrace (Clark, et.al., 1980) dan dibantu oleh beberapa sukarelawan (yang kurang mahir) menggunakan Bahasa Isyarat Amerika mulai tahun 1973 di New York. Nama itu ialah hasil otak-atik dari nama ahli bahasa terkenal Noan Chomsky yang berpendapat bahwa kemampuan berbahasa merupakan kemampuan yang hanya dimiliki oleh spesies manusia.
Para pengajar Nim diminta untuk selalu membuat catatan secara kronologis mengenai kemampuan yang berhasil dimiliki Nim. Pada setiap pelajaran, pengajar merekam informasi hasil pengamatannya mengenai bahasa isyarat yang digunakan oleh Nim dan konteks  penggunaannya. Dalam ruang belajar Nim juga diberi sebuah jendela kaca untuk keperluan pengamatan. Di bawah jendela itu diberi lubang untuk membuat film Nim., dan para pengajarnya tanpa terlihat oleh Nim. Hasil rekaman film itu ternyata bermanfaat untuk mengevaluasi penampilan Nim dan mengamati tiap-tiap peristiwa yang kurang dapat diuraikan oleh pengajarannya dalam alat perekam suara.
Setelah dua tahun, para pengajar Nim berhasil mencatat 20.000 isyarat yang telah ditunjukkannya yang terdiri dari isyarat dua kata atau lebih. Hampir separuh dari jumlah itu ialah paduan dua isyarat. Setelah 44 bulan pengajaran, Nim menguasai ungkapan 125 isyarat. Paduan isyarat yang ditunjukkan oleh Nim merupakan kalimat dasar. Namun demikian, sebagian besar paduan ujaran Nim merupakan tiruan ujaran para pengajarnya.
Hasil analisis bahasa isyarat Nim menunjukkan adanya perbedaan penting antara penggunaan bahasa Nim dan bahasa seorang anak manusia. Salah satu fakta yang kurang menggembirakan ialah ketiadaan peningkatan pada panjang ujaran Nim. Pada periode dua tahun terakhir masa pengajarannya, panjang rata-rata ujaran yang disampaikan oleh Nim bervariasi dari 1,1 sampai 6,1 isyarat. Prestasi itu mirip dengan penguasaan bahasa anak-anak ketika mereka mulai memadukan kata-kata. Pertumbuhan  anak ke arah dewasa juga disertai dengan peningkatan rata-rata panjang ujaran mereka. Hal itu terjadi baik pada anak-anak normal yang mempelajari bahasa lisan maupun anak-anak tunarungu yang mempelajari bahasa isyarat. Setelah belajar menggunakan ujaran yang menggunakan verba dan obyek (makan nasi), anak mulai belajar membuat ujaran lebih panjang yang menghubungkan subyek, verba, dan obyek (papa makan nasi). Pada tahap berikut, anak belajar mengembangkan ujaran itu menjadi kalimat seperti papa tidak makan nasi, atau kapan papa akan makan nasi? Berbeda dengan anak manusia, kendatipun kosakata Nim meningkat, panjang ujarannya tidak bertambah. Pernah dicatat pula ia menyampaikan ujaran yang panjang yaitu sampai 16 isyarat, tetapi ujaran itu tidak informatif, misalnya, beri jeruk saya beri makan jeruk saya makan jeruk beri saya makan jeruk beri saya kamu. Panjang ujaran anak-anak manusia dikembangkan dari makna ujaran yang lebih pendek, tetapi bahasa Nim tidak. Di samping itu, panjang maksimum ujaran anak berhubung dengan panjang rata-rata ujaran itu. Hal itu tidak terjadi pada Nim.
Proyek Terrace dalam mengajarkan bahasa isyarat kepada Nim berakhir dan Nim dikirim ke Okhlahoma. Setahun kemudian Terrace mengunjungi Nim. Kunjungan yang dirancang dalam suasana sewajar mungkin itu dimaksudkan untuk melihat secara langsung pengetahuan Nim mengenai bahasa isyarat. Nim ternyata menunjukkan kegembiraannya ketika berjumpa dengan Terrace.  Kemudian Terrace mengajaknya duduk untuk makan pagi. Terrace mengambil sebotol sari jeruk. Melihat tindakan Terrace itu Nim membuat isyarat nim minum dan munim saya. Setelah minum-minuman dalam cangkirnya ia membuat isyarat minum lagi. Di samping itu, Nim juga membuat isyarat untuk meminta makanan atau minuman lain yang diinginkan: apel, jeruk, anggur, pisang, dan kue-kue. Isyarat itu sering dipadukan dengan makan, minum, lagi, saya, dan Nim. Nim membuat isyarat secara spontan ketika makanan itu ditunjukkan kepadanya. Dari pertemuan Nim dan Terrace dalam suasana wajar itu dapat diketahui bahwa Nim dapat menunjukkan kemampuannya secara spontan dalam berbahasa isyarat yang merupakan sebagian dari hasil belajarnya selama lima tahun.
4.3  KONTROVERSI TENTANG PENGUASAAN BAHASA MANUSIA OLEH SIMPANSE
Cara manusia melatih binatang dapat digolongkan menjadi dua. Yang pertama ialah pelatihan ilmiah (scientific training) atau disebut dengan apprentissage dan pemagangan, dan kedua ialah pelatihan penampilan (performance training) atau disebut dengan dressage (Sebeok dan Umeker-Sebeok, 1980). Dalam pelatihan ilmiah perilaku binatang tidak ditentukan oleh seperangkat ganjaran (rewards) dan hukuman (punishment)  yang secara sadar diterapkan menurut kaidah-kaidah klasik psikologi perilaku (behavioral psychology). Misalnya, pengajaran burung dara supaya dapat mengambil benda yang memiliki bentuk dan warna yang berbeda merupakan apprentisage. Dalam aressage, intraksi emosional antara peneliti dan binatang merupakan bagian penting dari program latihan, sebab sang binatang merupakan bagian penting dari program latihan, sebab sang binatang harus belajar membaca isyarat verbal dan isyarat nonverbal para pelatihnya.
Kesimpulan umum eksperimen pengajaran bahasa manusia kepada simpanse ialah simpanse tidak dapat diajar bahasa manusia secara sempurna. Namun simpanse memiliki kemampuan minimal untuk menggunakan, dan memahami kata-kata dalam bentuk komunikasi yang sama sekali asing bagi simpanse. Kemampuan itu menurut Terrace (Clark, et.al., 1981) merupakan kemajuan yang pahit dicatat sebab sebelum eksperimen pengajaran bahasa manusia kepada simpanse terdapat pandangan bahwa kemampuan menggunakan kata-kata secara semena merupakan kemampuan yang hanya dimiliki oleh manusia. Kendatipun kemampuan intelegensi manusia dan simpanse berbeda amat jauh, kemajuan simpanse bertambah setapak lagi dengan kemampuannya mempelajari kosakata yang memiliki makna semena. Sayangnya, Nim dan simpanse yang lain tidak dapat berkomunikasi dengan sesama spesiesnya dengan menggunakan bahasa isyarat yang telah diajarkan kepada mereka karena keterbatasan motivasi mereka dan bukannya keterbatasan intelegensi.
Proposisi bahwa simpanse memiliki kemampuan dasar untuk menggunakan dan memahami bahasa manusia itu mendapat tantangan. Para penantang mengemukakan bahwa kemampuan simpanse dalam berkomunikasi dengan manusia itu tidak ubahnya seperti hasil orang melatih binatang pada zaman dahulu, yang dilakukan dengan pendekatan dressege. Pada awal abad ke-20, Oskar Pfungst, seorang psikolog dari Institut Psikologi Berlin, mengadakan eksperimen dengan mengadakan kuda sirkus yang diberi nama Clever Hans. Setelah melalui latihan dalam waktu yang lama Hans ternyata mampu melakukan hentakan-hentakan kaki untuk menjawab pertanyaan matematis dan untuk menunjuk huruf-huruf abjad. Namun Pfungst mengetahui bahwa apabila jarak antara Hans dan penanya dijauhkan, ketepatan jawaban Hans juga berkurang. Di samping itu juga diketahui bahwa Hans sebenarnya menanggapi isyarat-isyarat visual yang tidak begitu mencolok yang diberikan oleh penanya. Jika penanya tidak mengetahui jawabannya, dia tidak dapat menunjukkan bahwa Hans melakukan hentakan kaki dalam jumlah yang benar dan tentu saja jawaban Hans salah. Pfungst menyimpulkan bahwa tanggapan Hans dipengaruhi oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Fenomena pemberian isyarat lembut oleh manusia kepada binatang secara terkondisi semacam itu, pada umumnya dipandang sebagai penjelasan tentang perilaku mirip bahasa pada kebanyakan binatang (Sibeok dan Umeker-Sibeok, 1980). Demikian juga halnya pada simpanse. David Premack pernah mencoba menguji kemampuan Sarah yang dilakukan oleh seorang pelatih yang tidak dikenal Sarah. Pelatih itu memberikan soal pada papan bahasa Sarah. Ternyata kemampuan Sarah menurun tajam dan menurut Premack kemampuan Sarah menjadi seperti kemampuannya pada awal Premack mengajarnya.
Para peneliti yang melakukan pengajaran pada binatang, khususnya simpanse, tidak dapat menerima sanggahan itu. Gardner dan Gardner mengemukakan bahwa mereka bukanlah pelatih binatang, dan mereka tidak menumbuhkan tanggapan-tanggapan terkondisi pada Washoe. Dalam suatu eksperimen rumit yang dirancang untuk menghilangkan isyarat-isyarat yang dapat membantu Washoe, mereka menunjukkan bahwa ketika tidak ada manusia Washoe dapat menghasilkan isyarat-isyarat yang benar untuk mengidentifikasi gambar benda-benda. Berbeda dengan Gardner dan Gardner, Terrace secara cermat memberitahu para asisten mereka untuk selalu mengingat bahwa Nim Chimsky ialah binatang percobaan dan bukanlah anak manusia. Latihan bagi Nim sering kali dilakukan di ruangan tanpa jendela. Cara itu dimaksudkan untuk membatasi interaksi sosial antara binatang percobaan dan pelatihnya untuk menciptakan kondisi yang memadai untuk pendekatan apprentisage. Namun dalam banyak kasus, cara itu malah menjadi penghambat kemajuan simpanse dalam belajar bahasa.
Menanggapi pendekatan Terrace itu, Gardner dan Gardner menambahkan bahwa seorang anak manusia tunarungu cenderung tidak dapat mengembangkan kemampuan bahasa isyarat secara interaktif dalam situasi yang sama dengan Nim. Mereka menekankan perlu lingkungan domestik, tanpa kandang dengan harapan simpanse mempunyai kesempatan untuk bermain secara imanjinatif dan berinteraksi secara normal dengan para pemakai bahasa isyarat yang mahir. Hasil eksperimen mereka dengan beberapa simpanse lain menunjukkan bahwa simpanse-simpanse dalam lingkungan domestik dengan berteman manusia lebih cepat memperoleh bahasa isyarat. tentu saja yang diharapkan dengan pendekatan itu ialah agar simpanse-simpanse itu dapat menggunakan bahasa isyarat secara wajar untuk saling berkomuniksi. Namun, terdapat petunjuk bahwa harapan itu merupakan harapan yang mustahil. Di samping itu, terdapat kritikan bahwa para pelatih binatang itu terlalu berlebihan dalam menafsirkan kemampuan Washoe. Mereka dikecam mengartikan gerakan simpanse itu untuk mencocokkan dengan harapan mereka tentang kemampuan berbahasa simpanse. Bahkan dalam situasi semacam itu terdapat kecenderungan bagi para peneliti untuk menganggap jawaban simpanse benar apabila sudah termasuk dalam satu kategori. Misalnya, Gardner dan Gardner dapat menerima jawaban biru setelah mereka menanyakan warna apa untuk sebuah bola berwarna merah kepada simpanse.
Terdapat pelajaran penting yang dapat diperoleh dari upaya mengajar simpanse untuk menggunakan beberapa bentuk bahasa. Dengan pengajarannya semacam itu, pertanyaan “Mampukah simpanse berperan dalam interaksi dengan menggunakan sistem isyarat yang dipilih oleh manusia dan bukan oleh simpanse?” telah terjawab dengan jawaban tegas “Ya” perkembangan yang sama? Jawabannya ialah “Tidak.” Pelajarannya yang lain ialah adanya pengakuan bahwa kita tidak memiliki definisi yang obyektif dan tanpa pertentangan mengenai apa yang disebut dengan “menggunakan bahasa.” Ketika anak manusia bersuara seperti manusia, mereka dipandang menunjukkan perkembangan bahasa. Namun ketika anak simpanse menghasilkan isyarat-isyarat seperti bahasa dalam interaksi dengan manusia, kita masih belum dapat menegaskan bahwa hal itu merupakan penggunaan bahasa.
Kriteria yang digunakan dalam setiap kasus penggunaan bahasa oleh setiap simpanse itu tidaklah sama. Masalah itu ada seperti halnya kontroversi yang dihadapi oleh para psikolog yang berbeda tentang kemampuan simpanse dalam menggunakan bahasa. Namun dengan banyak bukti penelitian pengajaran bahasa manusia kepada simpanse, sebagian pakar menyarankan agar Noam Chomsky merevisi pernyataan bahwa “Pemerolehan bahasa, bahkan pada tahap awal penguasaan bahasa ada di luar kemampuan seekor kera yang pintar.” Dari berbagai eksperimen itu telah terbukti bahwa kendatipun kita tidak mendapatkan laporan pandangan simpanse tentang krisis ekologi dan perkembangan ekonomi global, kita mengetahui bahwa simpanse dapat menjangkau tahap awal penguasaan bahasa (Yule, 1985).

Kesimpulan itu pun bagi sebagian pakar belum dapat dipegang secara teguh. Kelompok pakar itu menilai para peneliti dan pelaku eksperimen pengajaran bahasa kepada simpanse, merekayasa diri mereka sendiri dengan harapan mereka pada simpanse-simpanse percobaan itu. Mereka dikritik terlalu yakin dan hanya mendasarkan pada kaidah-kaidah penafsiran manusia untuk menyimpulkan reaksi simpanse dalam berbahasa manusia menyerupai cara manusia berbahasa. Para pengkritik itu akhirnya menyimpulkan bahwa komunikasi antara manusia dengan simpanse masih merupakan bagian dari sebuah fiksi ilmiah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar