BAB 4
KOMUNIKASI BINATANG DAN BAHASA MANUSIA
Apakah binatang mempunyai kemampuan
dasar untuk berbahasa seperti manusia? Bab ini memaparkan upaya-upaya yang
dilakukan para ahli bahasa dan para psikolog untuk menjawab pertanyaan yang
menggoda mereka itu. Hal pertama yang dilakukan ialah mengkaji cara binatang
berkomunikasi dengan binatang lain dalam spesiesnya. Di samping dapat diketahui
kode-kode isyarat dasar binatang, dari kajian itu juga diketahui cara binatang
tertentu berkomunikasi. Hal kedua yang dilakukan adalah mengajarkan bahasa
manusia pada binatang, yaitu simpanse. Hasil yang ditemukan pun bervariasi.
Walaupun binatang dapat berkomunikasi dengan anggota spesiesnya, sebagian peneliti
memandang bahwa binatang memiliki potensi dasar untuk berbahasa dan sebagian
yang lain memandang binatang tidak memilikinya. Oleh karena itulah, di samping
membahas eksperimen-eksperimen yang dilakukan pada binatang, bab ini juga
membahas kontroversi mengenai temuan eksperimen-eksperimen itu.
Ide
bahwa beberapa jenis binatang memiliki kemampuan berbahasa bukanlah hal yang
ganjil. Benar atau tidaknya ide itu sebenarnya merupakan kajian ilmiah yang
cukup serius. Secara sepintas memang tampak adanya kesamaan antara bahasa lisan
manusia dengan syarat-syarat yang digunakan sebagian binatang. Bahasa manusia
dapat dipecah ke dalam satuan-satuan bunyi disebut fonem yang mencakup konsonan,
vokal, dan diftong. Sebuah fonem tertentu tidak selalu identik. Misalnya, bunyi
[p] dalam kata pintu dan sedap mengandung pengucapan yang berbeda
secara fisik. Pada pengucapan kata pertama, kedua bibir yang terkatup dibuka
untuk menghasilkan bunyi, sedangkan pengucapan kata yang kedua, kedua bibir
terkatup untuk beberapa saat sebelum pembentukan bunyi berikutnya. Namun
penutur bahasa Indonesia mengetahui bahwa keduanya merupakan fonem /p/. Dalam
bagian berikut dibahas sistem isyarat binatang dan perbandingannya dengan
fonem.
4.1 SISTEM ISYARAT BINATANG
Sudah
sejak lama diketahui bahwa binatang memiliki sistem komunikasi yang digunakan
dalam spesies binatang itu tersendiri. Dalam sistem komunikasi binatang dapat
ditemukan adanya isyarat vokal dasar. Jumlah isyarat vokal dasar itu tidak sama
baik antara jenis binatang yang sama dengan spesies yang berbeda. Sebagai
bandingan ialah keberadaan fonem dalam bahasa manusia, dan ketidakseragaman
jumlah fonem bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Sebagai misal, bahasa
Indonesia memiliki 33 fonem, bahasa Inggris memiliki 45 fonem, dan bahasa
Italia 27 fonem. Bahasa-bahasa manusia bervariasi menurut jumlah fonemnya.
Variasi itu berkisar antara 11 hingga 67. Manusi dapat saja menghasilkan lebih
banyak bunyi yang berbeda dan juga dapat mempelajari bahasa-bahasa lain, tetapi
mereka tetap menggunakan fonem-fonem dasar saja ketika berbicara dengan bahasa
mereka sendiri.
Seperti
halnya bahasa manusia, sistem isyarat binatang dapat dibagi ke dalam
satuan-satuan isyarat dasar, dan jumlah satuan isyarat dasar binatang tertentu
berada pada rentang yang mirip dengan jumlah fonem bahasa manusia. Hal ini
dapat dibuktikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.1
Jumlah Isyarat Dasar
Binatang
Spesies
Binatang
|
Jumlah
Isyarat
Dasar
|
1. Ayam
kampung
2. Lembu
3. Babi
4. Rubah
5. Lumba-lumba
air tawar
6. Paus
pilot
7. Lumba-lumba
lautan Pasifik
8. Kera
malam
9. Babon
10. Gorila
11. Simpanse
12. Kera
Jepang
|
2
8
23
36
7
7
19
10
15
23
25
37
|
13. Bahasa
Manusia
|
11-17
|
Sumber: adaptasi dari Russell dan Russell dalam
Minnis (1973)
Berdasarkan data dalam tabel tersebut, kita mungkin
akan menganggap bahwa bahasa manusia dalam sistem isyarat binatang hampir sama.
Namun jumlah satuan isyarat tidak dapat dijadikan ukuran. Kita tidak memandang
bahwa kera Jepang, dengan 37 satuan isyarat pastilah lebih canggih daripada
para penutur bahasa Hawaii yang memiliki 13 vokal dasar. Oleh karena itu,
apabila kita ingin mengetahui apakah binatang memiliki bahasa, kita harus
mempertimbangkan beberapa karakteristik bahasa dibandingkan dengan kode isyarat
binatang.
Kode-kode isyarat binatang ada yang menyerupai
karakteristik bahasa manusia. Misalnya, sebagaimana manusia menyampaikan bahasa
dengan bunyi, binatang juga memiliki bunyi-bunyi panggilan (call). Di samping itu, binatang juga
memiliki kode isyarat berupa sentuhan dan bau-bauan. Namun kode-kode isyarat
binatang tetap tidak dapat disebut sebagai bahasa sebab belum menunjukkan
ciri-ciri bahasa yang hakiki. Bahasa yang hakiki memuat panduan bebas
lambang-lambang yang dibatasi oleh kaidah-kaidah gramatika dan sintaksis logis,
menunjukkan hubungan lambang-lambang dan melambangkan hubungan antara benda, individu,
dan peristiwa (Russell dan Russell dalam Minnis 1973). Di samping itu, bahasa yang hakiki yang melibatkan
komunikasi yang hakiki pula. Pengungkapan kode-kode isyarat tanpa disertai kehadiran
pihak lain bukanlah komunikasi yang sebenarnya, seperti yang terjadi pada
binatang. Pada binatang, pengungkapan kode-kode isyarat yang hanya diikuti oleh
tanggapan otomatis dari spesies lain tidak dapat disebut sebagai komunikasi.
Oleh karena itu, kode-kode isyarat yang bersifat otomatis tidak masuk kategori
bahasa.
Berdasarkan keingintahuan akan kode-kode isyarat
binatang, kode isyarat binatang tertentu telah dikaji oleh para pakar. Hasil
kajian mereka mengenai kode-kode isyarat binatang yang memiliki bakat tinggi
itu dapat dijadikan dasar untuk mengetahui apakah binatang memiliki bahasa yang
hakiki. Kode isyarat yang dibahas dalam bagian berikut ialah kode isyarat
lebah, lumba-lumba, dan kera.
Tarian Lebah
Orang yang terkenal dalam studi tarian lebah ialah Karl von Frisch, dibantu oleh Martin Lindauer dan rekan-rekan kerjanya. Namun demikian, Frisch bukanlah orang pertama yang mengamati lebah.
Pada tahun 1788, seorang pastur bernama Ernst
Spitzner melaporkan bahwa ketika seekor lebah madu menemukan nektar, ia
kembali ke sarang dan melakukan tarian. Spitzner
menyimpulkan bahwa lebah yang melakukan tarian sekembali dari penemuan madu
itu sebenarnya memberitahu lebah-lebah lain mengenai sumber madu yang
ditemukannya. Sayangnya, pengamatan Spitzner
tidak berlanjut. Dua abad kemudian, Frisch
berhasil menemukan “bahasa” lebah madu Karniola (apis mellifera carnica). Spesies lebah yang lain, misalnya lebah
Afrika Utara (apis mellifera intermissa),
lebah Kaukasia (apis mellifera caucasica),
lebah Italia (apis mellifera lingustica)
dan lebah Mesir (apis mellifera fasciata)
memiliki “dialek” yang berbeda.
Ketika seekor lebah Karniola menemukan sumber madu
baru dalam jarak 10 meter dari sarangnya, ia kembali ke sarang dan menjatuhkan
tetesan madu. tetesan madu itu segera dikerumuni oleh lebah-lebah lain.
Kemudian ia mulai menari dalam bentuk lingkaran; pertama-tama ia memutar,
kemudian memutar lagi ke arah yang berlawanan, lagi berputar lagi ke arah yang
berlawanan, dan seterusnya. Tarian itu disebut tarian memutar (round dance). Lebah-lebah yang lain
mengikutinya menari berputar. Setelah menari, ia pergi ke sumber madu yang
merupakan sekuntum atau sekelompok bunga. Lebah-lebah lain tidak mengikutinya,
melainkan berterbangan ke berbagai penjuru. Namun tidak lama kemudian
lebah-lebah itu menemukan sumber makanan baru itu. Lebah-lebah itu dapat
menemukan sumber madu itu karena mengikuti bau madu yang menempel pada lebah
penari yang membawakan berita madu itu. Berdasarkan bau madu itu pula lebah
dapat menentukan jenis bunga yang merupakan sumber madu yang dikabarkan. Dalam
sebuah eksperimen, lebah-lebah yang diberi tahu oleh seekor lebah penari
menemukan bunga yang benar di Kebun Raya Munich, pada saat itu terdapat 700 jenis
bunga yang sedang mekar. Oleh karena itu, tarian memutar itu memberitahu
lebah-lebah lain untuk keluar sarang, dan mencari sumber madu di sekitar
sarang, serta bau madu yang melekat pada tubuh penari memberitahu lebah-lebah
itu bunga apa yang harus dicari.
Lebah madu juga dapat menemukan makanan dalam jarak
lebih dari sepuluh meter dari sarangnya. Lebah diketahui terbang lebih dari 13
kilometer untuk mencari madu. Ketika seekor lebah madu Karniola menemukan
makanan dalam jarak antara 100 meter hingga sepuluh kilometer dari sarang, ia
kembali ke sarang dan menawarkan madu yang ditemukannya dengan menampilkan
jenis tari lain, yaitu tari goyang sengat (tail
wagging dance). Ia menari dalam bentuk garis lurus untuk jarak tertentu,
dengan menggoyangkan sengatnya dan mendengungkan sayapnya ketika terbang.
Kemudian ia berhenti berdengung dan menggoyangkan sengatnya lagi, dan
seterunya. Lebah-lebah lain yang berminat menemukan madu mengikutinya berputar.
Seperti halnya tarian memutar, tari goyang sengat yang memberitahu lebah-lebah
lain bahwa terdapat sumber makanan. Bunga apa yang harus dicari, berdasarkan
baunya. Lebih dari itu, tarian itu juga menunjukkan jarak antara sarang dan
sumber makanan itu dan arah mana yang harus ditempuh. Dengan demikian, dalam
jarak sampai sepuluh kilometer pun lebah-lebah yang mengkaji tarian itu dapat
terbang dengan arah yang tepat sebagaimna yang ditunjukkan dan dapat menemukan
bunga-bunga yang mengandung madu itu.
Jarak sumber makanan disampaikan melalui tempo
tarian. Tempo cepat menunjukkan jarak yang tidak terlalu jauh, tempo pelan
menunjukkan jarak yang lebih jauh. Apakah jaraknya semakin jauh, goyanganya pun
diperlama. Lebah-lebah yang mengikuti tarian itu mengkaji frekuensi dan lama
goyang sengat dan menghitung lama rata-ratanya, kemudian mereka itu
menerjemahkannya untuk jarak sumber makanan dengan suatu kaidah matematis.
Teori goyang sengat kadang-kadang dilakukan dengan
permukaan horizontal di luar sarang lebah. Apabila tarian horizontal dilakukan,
lebah penari menunjukkan arah makanan dengan mengarahkan gerakan terbangnya
pada arah yang dimaksudkan. Lebah dapat melakukan tarian apabila ia melihat
matahari untuk menunjukkan kedudukan matahari terhadap lebah-lebah yang lain.
Ia mengambil kedudukan seperti ketika ia melihat matahari pada sumber makanan
dengan sudut yang sama dengan matahari seperti sudut ketika ia di tempat sumber
makanan. Skema tarian goyang sengat dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar
Baru goyang sengat. Jumlah tarian lebah persatuan
waktu dengan pola yang lengkap (1-2-1-3) menunjukkan jarak sumber makanan.
Tarian lebah juga dapat dilakukan secara vertikal
dalam serang. Dengan tarian itu ia menerjemahkan kedudukan sudut terbang dan
kedudukan matahari ke dalam jarak antara gerakan tari dan arah vertikal lurus
ke atas, dengan ketepatan tinggi. Lebah juga dapat mengomunikasikan jarak dan
tempat sumber makanan kendatipun
terdapat angin, dan ia sendiri sebelumnya tidak pernah menempuh rute itu. Tarian
lebah juga dapat manis atau kurang manisnya makanan, kemudahannya menemukan,
dan banyak tidaknya sumber makanan. Kendatipun terdapat lebah yang menari,
tidak semua lebah yang lain segera mengikuti tarian itu kalau memang tidak
berminat untuk mencicipi makanan baru itu.
Pada tanggal 14 Agustus 1946, Von Frisch kembali dari perjalananya di gunung ke ladang tempat
eksperimennya. Anak-anak perempuannya memberi tahu bahwa mereka telah
menyediakan tempat baru berisi air gula untuk lebah-lebah dalam sarang eskperimentalnya,
tetapi mereka tidak memberitahu ayahnya di mana letak tempat air gula itu. Frisch harus bertanya pada
lebah-lebahnya. Von Frisch benar-benar
“bertanya” pada lebah-lebahnya dengan
mengamati lebah-lebah itu, dan ia berhasil menemukan tempat berisi air
gula itu. Pada tanggal 22 September 1951, ketika melakukan eksperimen, Von Frisch memperhatikan seekor lebah
terus menerus menari di dalam sarang. Lalu dia mengkaji tarian itu dan menandai
tempat yang ditunjukkan lebah itu pada peta, dan dia menyimpulkan bahwa di
tempat yang berjarak 600 meter itu terdapat seorang penduduk memiliki madu yang
menahan lebah-lebah Frisch. Seorang
asisten Frisch menuju tempat yang ditunjukkan dan menemukan
seorang telah menuangkan madu dan menjemurnya untuk memanggil lebah-lebah yang
dimilikinya. Asisten Frisch memberitahu orang tersebut bahwa
lebah-lebah Frisch mencuri madunya dan memberitahu Frisch keberadaan madu orang tersebut.
Namun orang itu menganggap asisten Frisch
bercanda dan dia tidak mempercayainya, padahal cerita itu bukanlah rekaan,
tetapi merupakan kebenaran.
Kendatipun komunikasi lebah memiliki perlambangan
yang tepat dan rinci, terdapat banyak indikasi komunikasi lebah merupakan
isyarat otomatis dan bukan bahasa yang hakiki. Sebuah eksperimen dapat
membuktikan pernyataan itu. Lebah menggunakan tari goyang sengat menurut
variasi jarak yang disampaikan. Pada jarak yang pendek, misalnya lebah
menggunakan tarian memutar seperti biasa. Pada suatu ketika Karl Von Frisch dan rekan-rekannya
menempatkan sarang lebah-lebah itu pada fondasi beton sebuah menara radio, dan
membawa sepuluh sengat lebah pada jarak 50 meter ke arah atas melalui dalam
menara pada suatu tempat yang berisi air gula. Kesepuluh lebah itu kemudian
terbang turun menuju sarang dan menari selama empat jam. Namun komunikasi lebah
tidak mengandung lambang untuk “atas” dan “bawah.” Lebah-lebah penari itu hanya dapat melakukan
tarian memutar yang menunjukkan bahwa sumber makanan itu tidak jauh secara
horizontal. Jelas lebah-lebah yang lain keluar dan beterbangan di sekitar
sarang mendekati permukaan tanah. Namun tidak satu pun lebah yang berinisiatif
untuk terbang ke atas menara menuju ke tempat air gula pada kedudukan tempat di
atas sarang. Menurut Frisch, lebah
tidak dapat berkomunikasi apabila dihadapkan pada tugas yang tidak biasa
dilakukan. Oleh karena itu, komunikasi lebah, tidak seperti halnya bahasa
manusia, tidak dapat menghasilkan lambang-lambang baru untuk mendeskripsikan
peristiwa yang sama sekali baru. Dengan demikian, wajarlah kalau dikatakan
bahwa komunikasi bukanlah bahasa yang hakiki.
Bunyi
Lumba-lumba
Lumba-lumba merupakan spesies mamalia yang memiliki
prilaku luar biasa dibandingkan dengan mamalia lain dengan mamalia lain.
Kehidupan lumba-lumba dapat memiliki hubungan dalam tiga generasi, yaitu nenek,
ibu, dan anak. Lumba-lumba kadang-kadang memerankan tugas yang dikenal sebagai
binatang mencintai anaknya. Anak lumba-lumba yang dilahirkan biasanya oleh
induknya dibawa ke permukaan air agar dapat bernapas. Induk lumba-lumba tidak
dapat dipisahkan dari anaknya meskipun anaknya sudah mati karena sakit. Seekor
induk lumba-lumba sering kali “menggendong” kepala anak lumba-lumba yang telah
mati, dan dia meninggalkannya sebentar hanya ketika ia perlu bernapas ke
permukaan air. Hubungan yang erat antara induk dan anak lumba-lumba memungkinkan
terjalinnya permainan dan kegiatan-kegiatan yang lain. Lumba-lumba juga dikenal
sebagai binatang yang setia kawan. Seekor lumba-lumba yang sakit biasanya akan
dipotong secara individu atau beramai-ramai oleh lumba-lumba yang lain agar
tetap dan mengambil oksigen untuk dapat bernapas dan tidak akan ditinggalkan.
Pada saat ditolong atau memberi pertolongan sering kali dikeluarkan bunyi-bunyi
panggilan antara si sakit dan penolongnya. Mungkin saja di antara kedua pihak
itu terjadi komunikasi dalam bahasa lumba-lumba dan membicarakan apa yang
dilakukan.
Perilaku komunikasi lumba-lumba telah menjadi kajian
yang cukup intensif sejak dasawarsa 1940. Lumba-lumba dipandang sebagai
binatang yang memiliki kemampuan menyampaikan bunyi isyarat. Kehidupan laut
tidak memungkinkan lumba-lumba berkomunikasi dengan sesama spesiesnya
menggunakan ekspresi wajah atau gerakan tubuh. Komunikasi lumba-lumba dilakukan
dengan pengeluaran bunyi siul. Dari bunyi-bunyi yang dihasilkan lumba-lumba
dapat diketahui bahwa lumba-lumba memiliki urutan dan panduan bunyi yang lebih
rinci daripada binatang lain, kendatipun hakikat bunyi-bunyi itu masih
diperdebatkan, yaitu apakah dikeluarkan secara emosional ataukah diatur dengan
gramatika atau sintaksis yang logis.
John. J. Dreher dan Rene-Guy Busnel (Russel dan Russel dalam Minnis, 1973) telah mengkaji siulan
lumba-lumba dan mengibaratkan seperti bahasa manusia yang berupa bahasa bernada
(tonal language). Dreher dan Busnel menyajikan satuan siulan yang berbeda
dalam bentuk kontur dan urutan bunyi itu dipahami sebagai urutan yang memiliki
kesatuan makna. Metode penulisan semacam itu tergantung pada analisis frekuensi
dalam satuan bunyi dan bagaimana bunyi-bunyi itu dipadukan. Di samping itu,
terjadinya satuan bunyi dan paduan tiap-tiap bunyi itu dihubungkan dengan apa
yang sedang dilakukan lumba-lumba lain pada saat mendengarkan bunyi-bunyi itu. Dreher juga memainkan kembali rekaman
panduan bunyi-bunyi yang berbeda dan mendapatkan tanggapan dalam bentuk
tindakan dan rangkaian bunyi panggilan lumba-lumba yang mendengar. Namun
demikian, jumlah satuan bunyi itu berkaitan dengan situasi emosional, seperti
panggilan yang menunjukkan ketertekanan ataupun keinginan menjalin hubungan
birahi. Dalam sebuah eksperimen telah direkam rangkaian bunyi sahut-menyahut
dari dua ekor lumba-lumba yang dipisahkan sehingga tidak dapat saling melihat
dalam bak penampungan. Meskipun terdapat petunjuk bahwa seekor lumba-lumba
dapat membedakan panggilan dari lumba-lumba lain dengan rekaman suara
lumba-lumba, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa rangkaian bunyi
sahut-menyahut itu merupakan percakapan nyata dari kedua lumba-lumba itu.
Pada tahun 1966 Jarvis Bastian (Russel dan Russel dalam Minnis, 1973:227) melaporkan sebuah hasil
penelitian yang menarik. Dua lumba-lumba hidung botol Atlantik jantan dan
betina yang diberi nama Buzz dan Dorris. Dipelihara dalam sebuah bak
penampungan dilatih untuk bekerja sama dalam menekan pedal-pedal yang
dihubungkan dengan sinyal otomatis yang dapat memberikan makanan berupa ikan
pada saat pedal-pedal itu ditekan. Pada masing-masing bagian bak ditempatkan
sepasang pedal. Setelah melalui tahap-tahap latihan yang cukup rumit, bak
tersebut disekat menjadi dua untuk memisahkan keduanya.
Cara kerja penelitian itu ialah sebagai berikut.
Kepala kedua lumba-lumba itu ditunjukkan nyala lampu yang lain dengan dua cara,
secara sepintas atau lebih lama. Apabila nyala lampu kedua itu cukup lama,
pedal kanan harus diputar. Sampai pada tahap itu lumba-lumba betina dapat
melihat sinyal lampu. Kedua lumba-lumba itu akan mendapatkan ikan apabila si
jantan menekan pedal yang benar di bagian bak yang ditempatinya, kemudian si
betina menekan pedal yang benar di bagian bak yang ditempatinya. Dengan
demikian, si jantan harus menekan pedal yang benar tanpa melihat sinyal lampu
yang menunjukkan pedal mana yang harus ditekan. Lumba-lumba jantan hanya dapat
melakukan hal itu apabila lumba-lumba betina memberitahunya dengan bunyi-bunyi
siul yang dikeluarkannya mengenai pedal mana yang harus ditekan ketika si
betina melihat sinyal lampu cukup lama atau sepintas. Setelah mengalami
kegagalan berkali-kali, lumba-lumba jantan dapat menekan pedal yang benar dan kedua
lumba-lumba itu berhasil memperoleh ikan dengan tingkat kebenaran lebih dari 90
persen.
Hasil analisis bunyi lumba-lumba betina menunjukkan
bahwa si betina membuat bunyi siul dengan pulsa yang berbeda ketika sinyal
lampu itu menyala cukup lama atau sepintas. Bunyi lebih panjang untuk sinyal
lampu yang menyala lebih lama, dan bunyi lebih pendek untuk sinyal lampu yang
menyala sekejap. Dari penelitian itu mungkin sekali untuk disimpulkan bahwa
lumba-lumba jantan dapat mendengar dan membedakan kedua jenis bunyi yang
didengarnya dari si betina. Setelah berpengalaman dengan permainan itu,
kegagalan komunikasi antara kedua lumba-lumba dapat dibuat apabila si betina
tidak diberi ikan, apabila lampu tidak dinyatakan, dan apabila bak itu disekat dengan
benda tahan suara. Dari penelitian itu tampaknya dapat dipahami bahwa
lumba-lumba betina memberitahukan kepada lumba-lumba jantan tetang lama
tidaknya nyala sinyal lampu itu sehingga si jantan dapat menekan pedal yang
benar sebagai tanggapan pemberitahuan si betina.
Kepada lumba-lumba itu ditunjukkan situasi yang
baru, dan tidak seperti halnya dengan lebah, lumba-lumba berhasil memecahkan.
Apakah hal itu merupakan bahasa yang hakiki? Pada saat itu jawabannya masih
belum ditemukan. Pada tahun 1969 Bastian
menerbitkan temuannya yang lain dari temuan itu dapat diyakini bahwa
lumba-lumba tidak memakai bahasa yang hakiki. Hal itu dapat diketahui karena
lumba-lumba betina terus mengirim bunyi-bunyi yang berbeda mengenai sinyal
lampu yang cukup lama atau sebentar ketika sekat bak penampungan itu
dihilangkan, dan si jantan sendiri dapat melihat sinyal lampu itu. Bahkan
ketika si jantan dientaskan dari bak penampungan si betina tetap menekan
pedal-pedal itu meskipun mengetahui bahwa si jantan sudah tidak ada, dan si
betina terus “berbicara” sendiri. Ternyata lumba-lumba betina sudah terkondisi
dengan bunyi yang berbeda karena dengan bunyi-bunyi itu si betina dapat memperoleh
ikan, tanpa menyadari kalau dibantu si jantan dengan menekan pedal yang benar.
Dengan demikian, seperti halnya lebah, lumba-lumba tidak dapat dikatakan
memiliki bahasa yang hakiki.
Isyarat Visual
Kera
Selain lebah dan lumba-lumba, binatang yang
dipandang memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik ialah kera. Kera
merupakan binatang yang lincah dan memiliki wajah yang dapat digerakkan.
Kebanyakan spesies kera memiliki repertorium bunyi dan kera yang tinggal di
hutan-hutan lebah sangat tergantung pada bunyi itu. Berbeda dengan spesies kera
yang tinggal di hutan lebat, spesies kera yang tinggal di daerah lapang lebih
memanfaatkan isyarat visual dan ekspresi wajah daripada bunyi. Kera resus (macca mulatta) memiliki 73 satuan
isyarat yang berbeda dan dari jumlah itu hanya 10 merupakan bunyi. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Stuart A.
Altmann dicatat adanya peristiwa isyarat sebanyak 5.504 pada kera resus.
Kendatipun isyarat visual kera resus cukup banyak, kekayaan isyarat visual dan
ekspresi wajah kera resus belum dapat menyamai kekayaan isyarat visual dan
ekspresi wajah simpanse.
Berbeda dengan isyarat lebah madu yang berkaitan
dengan informasi mengenai makanan, kondisi cuaca, rasa makanan dan jarak
makanan serta sarang, isyarat kera berkaitan dengan kondisi emosi, kondisi
peristiwa, dan hubungan dengan sesamanya. Thomas
T. Struhsaker meneliti kera vervet (cercopithecus
aethiops) dan hasilnya menunjukkan bahwa spesies kera memiliki tiga puluh
enam isyarat vokal. Tujuh di antara isyarat itu mengacu ke peristiwa yang
terjadi di sekitar habitatnya. Dia menemukan bahwa bunyi-bunyi kera terjadi
dalam sedikitnya 21 situasi yang berbeda dan dapat menghasilkan sedikitnya 22
tanggapan dari kera yang mendengarnya. Sebuah hasil penelitian intensif tentang
komunikasi kera menunjukkan bahwa satu spesies kera dapat memiliki kode isyarat
yang berbeda. Di samping itu, sekelompok masyarakat kera dari spesies yang sama
dapat memiliki aspek-aspek perilaku yang berbeda. Sekelompok spesies kera
Jepang (macaca fuscata), misalnya,
mencabut umbi-umbian yang dapat dimakan, sekelompok lain menyerang padi,
sedangkan yang lain lagi tidak mengganggu. Tampak bahwa kera-kera muda
mendapatkan pelajaran mengenai “adat” dalam kelompoknya dengan cara meniru
kera-kera yang lebih tua atau induknya. Kadang-kadang sebuah kebiasaan baru
dilakukan oleh seekor kera muda dan kebiasaan itu diterima oleh induk kera yang
lama kelamaan menyebar ke kelompok kera-kera lain dalam garis keluarga kera.
Pada akhirnya menyebar kepada semua kera dalam kelompok itu, kemudian
diturunkan pada generasi berikutnya.
Dalam sebuah kelompok masyarakat kera Jepang di Pulau
Koshima telah tertanam kebiasaan mencuci ubi jalar sebelum kera-kera itu
memakannya dan memisahkan biji-biji gandum dari pasir yang bercampur dengan
biji-biji itu. Dengan demikian setiap kelompok kera memiliki “kebudayaan”
sendiri dan hal itu mencakup pula isyarat visual mereka. Kera-kera Khosima
telah menguasai isyarat baru untuk meminta makanan. Sebuah masyarakat kera
resus dilaporkan mempunyai kebiasaan mengecap bibir mereka sebagai isyarat
persahabatan dan merentangkan tangan serta menutupnya lagi di muka dadanya
secara berulang untuk menunjukkan adanya ancaman.
Dibandingkan dengan komunikasi lumba-lumba,
kode-kode isyarat kera lebih sering diteliti. Dari hasil-hasil penelitian itu
dapat diyakini bahwa kera seperti halnya binatang lain ternyata hanya melakukan
kode-kode isyarat secara otomatis yang dipadukan menurut emosi, bukanya menurut
kaidah-kaidah logis. Di samping itu, juga dapat disimpulkan bahwa kera tidak
mengembangkan bahasa hakiki. Namun yang jelas, banyak paduan yang dapat
dilakukan oleh kera. Dari kemungkinan tentang banyaknya paduan yang dapat
dilakukan itu, beberapa ilmuwan telah mencoba mengajarkan bahasa manusia kepada
simpanse, yang dipandang merupakan spesies kera yang paling pintar. Di samping
itu, simpanse dipandang menyerupai manusia, baik dalam hal intelegensinya,
keingintahuannya, dan kebiasaan sosialnya (Terrace
dalam Clark, et.al, 1981).
4.2 MENGAJARKAN
BAHASA MANUSIA KEPADA SIMPANSE
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali ditemukan
peristiwa yang menunjukkan seolah-olah binatang dapat memahami apa yang
diucapkan oleh manusia. Para pengendara kuda dapat mengatakan go untuk meminta kuda berhenti. Dalam
arena sirkus, sejumlah binatang mau berlari, melompat, atau berguling-guling
sesuai dengan perintah yang diucapkan pawangnya. Jika demikian, apakah
contoh-contoh itu layak digunakan sebagai bukti bahwa binatang dapat memahami
bahasa manusia? Jawabannya adalah tidak. Menurut kajian tentang perilaku
binatang, binatang menjalankan perilaku tertentu sebagai tanggapan pada
rangsangan bunyi, tetapi sebenarnya tidak “memahami” makna kata yang
disampaikan. Jika sulit membayangkan bahwa binatang memahami bahasa manusia,
tentunya tidak mungkin binatang mampu meniru dan menghasilkan bahasa manusia.
Selama ini pun belum teramati adanya binatang yang belum mampu menghasilkan
isyarat dari jenis binatang lain, bahkan dalam satu jenis dengan spesies lain.
Hal itu juga terjadi pada simpanse yang dikenal sebagai binatang yang
menyerupai manusia.
Telah lama diketahui bahwa simpanse dapat menanggapi
enam puluh kata manusia. Namun untuk dapat menyimpulkan apakah simpanse mampu
menguasai bahasa manusia secara hakiki, telaah dilakukan serangkaian percobaan
dengan mengajar simpanse untuk menggunakan kata-kata manusia dalam
berkomunikasi, membuat panduan kata-kata itu dan menggunakannya secara benar.
Selain itu, upaya itu dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah seekor
simpanse dengan seorang manusia dapat berbicara tentang berbagai hal. Upaya
mengajar simpanse untuk dapat berbicara telaah dilakukan beberapa pakar. Di
antaranya ialah sepasang ilmuwan bernama Keith
J. Hayes dan istrinya Catherine
Hayes dengan simpanse yang diberi nama Vicki, R.Allen Gardner dan istrinya Beatrice T. Gardner dengan simpanse yang diberi nama Washoe, David Premack dan istrinya Ann Premack dengan simpanse yang diberi
nama Sarah, Duane Rumbaugh dengan simpanse yang diberi nama Lana, dan Herbert S. Terrace dengan simpanse yang
diberi nama Nim Chimpsky. Dalam bagian berikut disajikan eksperimen dan hasil
pengajaran bahasa manusia kepada simpanse Vicki, Washoe, Sarah, Lana dan Nim
Chimpsky.
Vicki
Hayes dan Hayes
(Clark, et.al, 1981) memelihara seekor simpanse betina
yang diberi nama Vicki, dan membesarkannya seperti cara orang membesarkan
seorang anak serta diberi berbagai simulasi sebagaimana yang diberikan kepada
bayi manusia, tetapi dilengkapi dengan alat pengajaran yang canggih. Mereka
berharap simpanse itu dapat menirukan kata-kata manusia yang didengarnya dan
dapat mempelajarinya, kemudian digunakannya secara benar dalam keluarga tempat
simpanse itu dibesarkan. Kedua psikolog itu mengajarkan Vicki untuk mengucapkan
empat kata: “momma,” “poppa,” “up,” dan
“cup.” Agar Vicki dapat menirukan
kata-kata itu, para pengajarnya harus menggerakkan bibir sedemikian rupa untuk
memberikan contoh pengucapan yang benar kepada Vicki. Pada akhirnya Vicki dapat
mempelajari posisi bibir dan mulutnya dengan dibantu kedua tangannya untuk
menghasilkan kata-kata yang diminta oleh kedua orang tua angkatnya. Namun meskipun
Vicki dapat mengucapkan kata-kata seperti cara manusia mengucapkannya, belum dapat dikatakan bahwa
Vicki memahami makna kata-kata itu. Hasil eksperimen itu ternyata kurang
menggembirakan. Setelah enam tahun upaya dilakukan, Vicki memang dapat belajar
kata itu. Akan tetapi Vicki mau menirukan kata-kata itu hanya setelah kata-kata
itu diucapkan oleh salah seorang pengajarnya, dan hanya ia kalau diberi makanan
atau minuman setelah itu. Dapat disimpulkan dari eksperimen Hayes dan Hayes ialah seekor simpanse dalam mempelajari “ujaran” yang tdak
alamiah itu untuk menghasilkan balasan makanan dan minuman.
Washoe
Pada bulan Juni 1966 sepasang peneliti lain memulai
eksperimen dengan seekor simpanse betina berusia satu tahun yang diberi nama
Washoe (yang berasal dari nama sebuah daerah tempat eksperimen itu dilakukan).
Mereka ialah R. Allen Gardner dan Beatrice T. Gardner. Berdasarkan
pengamatan pada film mengenai Vicki yang tidak dapat mengucapkan kata-kata yang
diajarkan, mereka mendapatkan gagasan untuk mengajar simpanse tidak dengan
suara, tetapi dengan isyarat. Berdasarkan kajian pengalaman Hayes mengajar simpanse yang
menunjukkan bahwa simpanse lebih peka kepada isyarat visual daripada isyarat vokal.
Mereka mengajarkan kepada Washoe bahasa isyarat Amerika (American Sign Language) yang digunakan oleh penyandang tunarungu di
Amerika Serikat. Dengan bahasa itu konsep-konsep atau kata-kata bahasa Inggris
diwujudkan dengan isyarat yang dibuat dengan tangan. Kebanyakan lambang bahasa
isyarat itu bersifat semena, dan semua lambang dipadukan menurut
prinsip-prinsip gramatika dan sintaksis bahasa Inggris. Gardner dan Gardner dibantu
para asistennya mendidik Washoe secara bergantian sehingga ia tidak pernah terlepaskan
dari perhatian manusia. Mereka memainkan berbagai permainan untuk menyenangkan
Washoe. Para pengasuh Washoe tidak diperkenankan memakai bahasa lisan. Mereka
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat dengan harapan Washoe dapat
memperoleh kemampuan berbahasa isyarat. Hal itu didasarkan pada analogi dengan
anak manusia yang mampu menguasai kemahiran berbicara dengan kesempatan yang
dimiliki untuk bertemu dan mendengarkan orang dewasa berbicara dengan
kesempatan yang dimiliki untuk bertemu dan mendengarkan orang dewasa berbicara.
Mereka juga memotivasi Washoe agar mempelajari bahasa isyarat itu dengan cara
menunjukkan posisi tangan secara berulang-ulang, dengan cara membenarkan posisi
tangan Washoe pada saat membuat isyarat, atau dengan memperkenalkan berbagai
macam obyek dan mainan untuk mengembangkan kosakata yang dimilikinya, sehingga
dapat mengembangkan kemampuan komunikasi dengan tangan.
Hasil mengajar Washoe dapat dijelaskan sebagai
berikut. Setelah dua tahun pengajaran, Washoe dapat menggunakan 34 kata secara
benar dalam situasi yang tepat (berdasarkan laporan sedikitnya tiga orang
pengasuh). Apabila Washoe mempelajari sebuah “kata” baru dia segera
menerjemahkannya pada sebuah obyek tertentu, misalnya papan tulis atau
sekelompok obyek (misalnya semua kunci yang ada). Ia secara spontan meminta
perhatian manusia pada obyek dengan cara membuat obyek isyarat yang benar. Ia
menggunakan isyarat “anjing” ketika ia melihat gambar anjing atau mendengar
suara anjing (tanpa melihat anjing itu). Ternyata Washoe memiliki kemampuan
untuk mengubah sebuah pola ke dalam pola yang lain. Tiga setengah tahun
kemudian Washoe berhasil mengungkapkan 132 kata dan diperkirakan ia dapat
memahami tiga kali kata yang dapat diungkapkannya. Ia dapat menggunakan bahasa
isyarat yang bervariasi dari pesawat
terbang, bayi, pisang sampai pada jendela,
wanita, dan kamu.
Hasil yang dicapai Washoe masih lebih banyak lagi.
Washoe juga dilaporkan mulai menemukan paduan isyarat dan menggunakan dengan
cara yang benar Washoe juga dapat memadukan bentuk-bentuk untuk menghasilkan
kalimat-kalimat yang baru. Di antara paduan kata-kata yang diciptakannya ialah:
buka makanan minuman, untuk membuka
kulkas, buka bunga, agar dibukakan
pintu menuju ke kebun bunga; dan dengar
makanan, ketika mendengar bunyi jam yang menandakan waktu makan.
Beberapa waktu sebelum Gardner dan Gardner menerbitkan hasil mereka untuk
pertama kalinya (Agustus 1969), Washoe telah mempelajari pronomina saya dan kamu sehingga tampak bahwa paduan yang menyerupai kata-kata pendek
sudah mulai muncul. Oleh karena Washoe dapat melakukan paduan isyarat untuk
menguraikan barang dan keadaan baru secara tepat, eksperimen itu tampaknya
dapat menunjukkan bahwa simpanse mampu mempelajari bahasa yang hakiki. Pada
usia tiga tahun Washoe telah mempelajari banyak kata, tetapi apabila
dibandingkan dengan manusia dalam taraf perkembangan yang sama, yaitu usia lima
tahun, manusia masih lebih unggul sebab dapat menguasai berarus-ratus kata
dengan panjang kalimat sekitar 4 sampai 5 kata.
Terbatasnya informasi yang diberikan oleh keluarga Gardner itu dapat digunakan untuk
memutuskan apakah Washoe menyampaikan isyarat dan paduannya sesuai dengan
situasinya menurut kaidah-kaidah gramatika untuk menciptakan makna tertentu
atau tidak. Misalnya, apabila Washoe membuat isyarat beri saya ketika ingin diberi obyek tertentu dan membuat isyarat saya beri ketika ingin memberi sesuatu,
maka dapat dikatakan bahwa ia telah menguasai sebuah kaidah gramatika sederhana.
Namun tanpa mengetahui urutan kata dan penggunaannya tidaklah diketahui apakah
Washoe benar-benar menciptakan makna tertentu dengan menggunakan kaidah-kaidah
itu, ataukah ia hanya memadukan isyarat-isyarat itu secara acak. Hal lain yang
diperdebatkan ialah paduan kata-kata yang dibuat Washoe pada situasi tertentu.
Paduan kata-kata itu banyak dipengaruhi oleh isyarat-isyarat yang disampaikan
oleh pengasuhnya. Hal itu di ketahui dari banyaknya jawaban Washoe juga
mengambil dari isyarat yang telah disampaikan pengasuhnya. Misalnya:
Susun N : Sampai panda?
Washoe : Pandai Washoe
Susan N : Pandai
Washoe : Pandai
Susan N : Siapa tolol?
Washoe : Susan tolol
Susan : Siapa
Washoe : Washoe
Banyak paduan isyarat Washoe
merupakan tiruan baik sebagian atau tiruan baik sebagian atau keseluruhan dari
isyarat yang disampaikan para pengasuhnya. Pelajaran yang dapat dipetik dari
eksperimen Gardner dan Gardner itu ialah diperolehnya
pengalaman tentang pengajaran seekor binatang untuk menggunakan bahasa hakiki
dan berkomunikasi dengan manusia yang mengajarinya. Washoe pun mengukir sejarah
sebagai simpanse pertama yang berkomunikasi dengan kata-kata dalam bahasa
alamiah manusia.
Sarah
Hampir bersamaan dengan periode pengajaran Washoe, David Premack dan istrinya Ann Premack menawarkan metode
pengajaran baru pada simpanse. Di antara empat simpanse yang diajar, yang utama
ialah seekor simpanse betina bernama Sarah yang mulai diajar pada usia empat
tahun. Sarah diajar bahasa buatan yang disusun dari lempengan-lempengan plastik.
Bentuk maupun warna lempengan plastik itu tidak berhubungan dengan maknanya.
Misalnya, untuk apel lempengan itu
berupa segitiga biru dan konsep sama ditunjukkan
dengan lempengan bergerigi berwarna oranye.
Pengajaran Sarah dilakukan secara sederhana. Sarah
dan pengajarnya duduk di bangku secara terpisah. Sarah ada di dalam kandang dan
pengajarnya ada di bagian ujung bangku itu. untuk mengajarkan nama makanan
kepada Sarah, pengajarnya akan menukar makanan itu untuk lempengan plastik yang
tepat. Ketika mengajarkan konsep apel, pengajar
Sarah menempatkan sepotong apel pada jarak yang tidak dicapai oleh Sarah.
Kemudian pengajar menerapkan dua macam prosedur pengajaran. Pertama, sebuah lempengan plastik biru
diletakkan dalam jangkauan Sara dan pengajarnya tidak akan memberinya apel
apabila ia tidak meletakkan segi tiga biru itu pada sebuah “papan bahasa” di
depannya. Kedua, Sarah diharuskan
memilih segi tiga biru dari sekumpulan lempengan lain yang mengandung arti jenis
makanan lain. Apabila ia memilih lambang selain lempengan biru itu, maka dia
diberi makanan yang dilambangkan dengan lempengan yang diambil itu. Sarah tidak
banyak mengalami kesulitan dalam belajar menggunakan lempengan plastik biru
untuk memperoleh beberapa potong apel yang diinginkannya.
Gambar
Beberapa contoh “kata-kata”
yang dilambangkan dengan lempengan-lempengan
Plastik dalam bahasa Sarah
Apabila Sarah tela mempelajari
sebuah kata tertentu. Pengajarannya mengharuskannya untuk menambahkan kata-kata
sebelum mendapatkan makanan yang diinginkan. Misalnya, pengajar menginginkan
Sarah menghasilkan urutan: Mery beli apel
Sarah. Ia diharuskan menggunakan beri
setelah apel pada papan
bahasanya. Kemudian, ia diharuskan menggunakan lambang-lambang itu dalam urutan
yang tepat. Apabila ia dapat menghasilkan beri
apel, ia akan diberi apel, tetapi apabila keliru dengan apel beri, maka ia tidak diberi apel.
Gambar
Urutan lempengan yang disusun Sarah secara vertikal
untuk meminta Mery (salah seorang pengajarnya) memberinya apel.
Tahap berikutnya, ia diajar menghasilkan urutan tiga
kata Mery beri apel. Urutan dua
lambang beri apel tidak lagi
diterima, meskipun ia dapat menghasilkan urutan itu dengan benar. Pada tahap
terakhir ia diminta mengurutkan empat lambang yang bermakna Mery beri apel Sarah. Untuk mengetahui
nama para pengajar dan namanya sendiri, lambang-lambang nama dikalungkan pada
para pengajar dan pada Sarah sendiri. Pada sebuah eksperimen Gassie, nama
seekor simpanse yang lain, didudukan dekat Sarah. Apabila Sarah menghasilkan
urutan Mery beri apel Gussie, maka
Gussie diberi apel. Namun kemudian Sarah jarang membuat kekeliruan seperti itu.
Premack juga mengajar Sarah untuk “membaca” urutan lempengan
plastik. Setiap urutan merupakan perintah untuk melakukan sesuatu terhadap
obyek-obyek yang ditempatkan di depannya. Kepada Sarah dapat ditunjukkan sebuah
piring, apel, mangkuk, buah pir, dan perintahnya ialah Sarah memasukkan apel piring. Sarah akan diberi makanan apabila ia
dapat memasukkan apel ke dalam piring. Dia tidak diberi makanan apabila
menempatkan apel ke dalam mangkuk atau meletakkan buah pir dalam piring. Sarah
cepat mempelajari perintah semacam ini; Sarah
memasukkan apel mangkuk, Sarah masukkan buah pir piring, dan Sarah masukkan buah pir mangkuk. Pada
tahap berikutnya dia diminta melaksanakan perintah yang cukup rumit seperti Sarah apel mangkuk buah pir piring masukkan.
Di sini masukkan mengacu pada dua
tindakan: memasukkan apel ke dalam mangkuk dan memasukkan buah pir ke dalam
piring. Permack menganggap kemampuan
Sarah melakukan tugas-tugas itu merupakan bukti bahwa Sarah memahami bahwa
hubungan hierarkis antara masukkan dan
frase apel mungkin dan buah piring pir.
Lana
Lana adalah seekor simpanse betina diajar oleh Duane Rumbaugh dan beberapa kawannya di
Pusat Primata Yerkes, di Atlanta, Geogia. Lana mulai diajar pada usia dua
tahun. Rumbaugh mengajarkan sebuah
bahasa yang menyerupai bahasa yang diajarkan kepada Sarah oleh Premack. Kata-kata yang diajarkan
kepada Lana disebut Yerkis, dan
kata-kata itu terdapat pada Keyboard dan
monitor komputer. Setiap kunci
memiliki leksigram yang berbeda. Leksigram itu berupa paduan salah satu warna
dari sembilan konfigurasi geometrik yang ada pada kunci-kunci itu. Misalnya, air disimbolkan dengan bujur sangkar
dengan lingkaran dan garis bergelombang.
Komunikasi dengan Lana dilakukan dengan komputer.
Komputer segera menanggapi apa yang diminta Lana. Hasil belajar Lana tentang Yerkish tidak jauh berbeda dengan hasil
belajar Sarah dengan lempengan plastik. Apabila Lana menginginkan makanan
tertentu, ia harus minta komputer untuk menyediakannya dengan menekan urutan
leksigram yang benar pada keyboard
komputer. Apabila ia menginginkan sepotong apel, ia harus menekan urutan tolong mesin beri apel. Lana tidak akan
menerima apel itu apabila urutan yang ditekannya tidak tepat, misalnya, tolong mesin apel beri, atau tolong mesin beri apel. Kalau Lana ingin
melihat slide atau melongok jendela, maka ia harus menekan urutan yang berbeda.
Supaya dapat melihat slide, Lana
haruslah menekan: tolong mesin tunjukkan
slide. Apabila ia menekan urutan berikut ini tolong mesin beri slide maka ia tidak akan diberi kesempatan
melihat slide.
jh
|
jh
|
Tolong
|
beri
|
air
|
mesin
|
jh
|
jh
|
Beberapa “kata”
Yerkish pada Komputer Lama.
Lana tidak hanya belajar “menulis” urutan yang
benar, tetapi ia juga “membaca” urutan yang ditunjukkan oleh komputer. Dalam
sebuah teks, kepada Lana ditunjukkan urutan yang benar. Dalam sebuah teks,
kepada Lana ditunjukkan urutan yang tidak lengkap. Apabila urutan itu merupakan
urutan gramatikal (misalnya, tolong mesin
beri ), maka
Lana melengkapi urutan itu dengan menekan apel
atau Cocacola. Kemudian ia diberi
makanan atau minuman yang diminta. Apabila Lana tetap menekan urutan itu tidak
sesuai dengan yang dimaksudkan (misalnya, mesin
tolong beri ), maka
Lana tidak akan memperoleh apa-apa. Agar Lana dapat memperoleh makanan atau
minuman yang diinginkannya, maka ia harus menghapus urutan yang tidak benar itu
dan memulainya dengan urutan yang benar. Ternyata Lana mampu melakukannya. Ia
mampu menyelesaikan urutan yang tidak lengkap dan juga menghapus urutan yang
tidak tepat, kemudian ia ganti dengan
urutan lengkap yang sesuai dengan kaidah-kaidah Yerkish.
Baik Sarah maupun Lana menunjukkan kemampuan untuk
menggunakan apa yang tampak seperti logogram yang mirip dengan penggunaan
bahasa. Namun terdapat keraguan mengenai kemampuan bahasa itu. Di kemukakan
bahwa ketika Lana menggunakan lambang “tolong,”
dia tidak harus mengerti makna bahasa Inggris yang berarti tolong. Tidak ada pilihan lain yang
dapat digunakan untuk menggantikan tolong
itu sebagaimana yang dapat dilakukan manusia untuk menghasilkan ujaran yang
berbeda, tetapi bermakna sama. Simbol untuk “tolong” pada keyboard komputer
pada dasarnya sama dengan tombol agar dapat mengoperasikan mesin-mesin
bertombol tanpa harus mengetahui bahasa.
Nim Chimsky
Nim Chimsky adalah nama seekor simpanse jantan yang
diajar oleh Herbert S. Terrace (Clark, et.al., 1980) dan dibantu oleh beberapa sukarelawan (yang kurang
mahir) menggunakan Bahasa Isyarat Amerika mulai tahun 1973 di New York. Nama
itu ialah hasil otak-atik dari nama ahli bahasa terkenal Noan Chomsky yang berpendapat bahwa kemampuan berbahasa merupakan
kemampuan yang hanya dimiliki oleh spesies manusia.
Para pengajar Nim diminta untuk selalu membuat catatan
secara kronologis mengenai kemampuan yang berhasil dimiliki Nim. Pada setiap
pelajaran, pengajar merekam informasi hasil pengamatannya mengenai bahasa
isyarat yang digunakan oleh Nim dan konteks
penggunaannya. Dalam ruang belajar Nim juga diberi sebuah jendela kaca untuk
keperluan pengamatan. Di bawah jendela itu diberi lubang untuk membuat film
Nim., dan para pengajarnya tanpa terlihat oleh Nim. Hasil rekaman film itu
ternyata bermanfaat untuk mengevaluasi penampilan Nim dan mengamati tiap-tiap
peristiwa yang kurang dapat diuraikan oleh pengajarannya dalam alat perekam
suara.
Setelah dua tahun, para pengajar Nim berhasil
mencatat 20.000 isyarat yang telah ditunjukkannya yang terdiri dari isyarat dua
kata atau lebih. Hampir separuh dari jumlah itu ialah paduan dua isyarat.
Setelah 44 bulan pengajaran, Nim menguasai ungkapan 125 isyarat. Paduan isyarat
yang ditunjukkan oleh Nim merupakan kalimat dasar. Namun demikian, sebagian besar
paduan ujaran Nim merupakan tiruan ujaran para pengajarnya.
Hasil analisis bahasa isyarat Nim menunjukkan adanya
perbedaan penting antara penggunaan bahasa Nim dan bahasa seorang anak manusia.
Salah satu fakta yang kurang menggembirakan ialah ketiadaan peningkatan pada
panjang ujaran Nim. Pada periode dua tahun terakhir masa pengajarannya, panjang
rata-rata ujaran yang disampaikan oleh Nim bervariasi dari 1,1 sampai 6,1
isyarat. Prestasi itu mirip dengan penguasaan bahasa anak-anak ketika mereka
mulai memadukan kata-kata. Pertumbuhan
anak ke arah dewasa juga disertai dengan peningkatan rata-rata panjang
ujaran mereka. Hal itu terjadi baik pada anak-anak normal yang mempelajari
bahasa lisan maupun anak-anak tunarungu yang mempelajari bahasa isyarat. Setelah
belajar menggunakan ujaran yang menggunakan verba dan obyek (makan nasi), anak mulai belajar membuat
ujaran lebih panjang yang menghubungkan subyek, verba, dan obyek (papa makan nasi). Pada tahap berikut,
anak belajar mengembangkan ujaran itu menjadi kalimat seperti papa tidak makan nasi, atau kapan papa akan makan nasi? Berbeda
dengan anak manusia, kendatipun kosakata Nim meningkat, panjang ujarannya tidak
bertambah. Pernah dicatat pula ia menyampaikan ujaran yang panjang yaitu sampai
16 isyarat, tetapi ujaran itu tidak informatif, misalnya, beri jeruk saya beri makan jeruk saya makan jeruk beri saya makan jeruk
beri saya kamu. Panjang ujaran anak-anak manusia dikembangkan dari makna
ujaran yang lebih pendek, tetapi bahasa Nim tidak. Di samping itu, panjang
maksimum ujaran anak berhubung dengan panjang rata-rata ujaran itu. Hal itu
tidak terjadi pada Nim.
Proyek Terrace
dalam mengajarkan bahasa isyarat kepada Nim berakhir dan Nim dikirim ke
Okhlahoma. Setahun kemudian Terrace mengunjungi
Nim. Kunjungan yang dirancang dalam suasana sewajar mungkin itu dimaksudkan
untuk melihat secara langsung pengetahuan Nim mengenai bahasa isyarat. Nim
ternyata menunjukkan kegembiraannya ketika berjumpa dengan Terrace. Kemudian Terrace mengajaknya duduk untuk makan
pagi. Terrace mengambil sebotol sari
jeruk. Melihat tindakan Terrace itu
Nim membuat isyarat nim minum dan munim saya. Setelah minum-minuman dalam
cangkirnya ia membuat isyarat minum lagi.
Di samping itu, Nim juga membuat isyarat untuk meminta makanan atau minuman
lain yang diinginkan: apel, jeruk,
anggur, pisang, dan kue-kue. Isyarat
itu sering dipadukan dengan makan, minum,
lagi, saya, dan Nim. Nim membuat
isyarat secara spontan ketika makanan itu ditunjukkan kepadanya. Dari pertemuan
Nim dan Terrace dalam suasana wajar
itu dapat diketahui bahwa Nim dapat menunjukkan kemampuannya secara spontan
dalam berbahasa isyarat yang merupakan sebagian dari hasil belajarnya selama
lima tahun.
4.3
KONTROVERSI TENTANG PENGUASAAN BAHASA MANUSIA OLEH
SIMPANSE
Cara manusia melatih binatang dapat digolongkan
menjadi dua. Yang pertama ialah pelatihan ilmiah (scientific training) atau disebut dengan apprentissage dan pemagangan, dan kedua ialah pelatihan penampilan
(performance training) atau disebut
dengan dressage (Sebeok dan Umeker-Sebeok, 1980).
Dalam pelatihan ilmiah perilaku binatang tidak ditentukan oleh seperangkat
ganjaran (rewards) dan hukuman (punishment) yang secara sadar diterapkan menurut
kaidah-kaidah klasik psikologi perilaku (behavioral
psychology). Misalnya, pengajaran burung dara supaya dapat mengambil benda
yang memiliki bentuk dan warna yang berbeda merupakan apprentisage. Dalam aressage,
intraksi emosional antara peneliti dan binatang merupakan bagian penting
dari program latihan, sebab sang binatang merupakan bagian penting dari program
latihan, sebab sang binatang harus belajar membaca isyarat verbal dan isyarat
nonverbal para pelatihnya.
Kesimpulan umum eksperimen pengajaran bahasa manusia
kepada simpanse ialah simpanse tidak dapat diajar bahasa manusia secara
sempurna. Namun simpanse memiliki kemampuan minimal untuk menggunakan, dan
memahami kata-kata dalam bentuk komunikasi yang sama sekali asing bagi
simpanse. Kemampuan itu menurut Terrace (Clark, et.al.,
1981) merupakan kemajuan yang pahit dicatat sebab sebelum eksperimen
pengajaran bahasa manusia kepada simpanse terdapat pandangan bahwa kemampuan
menggunakan kata-kata secara semena merupakan kemampuan yang hanya dimiliki
oleh manusia. Kendatipun kemampuan intelegensi manusia dan simpanse berbeda
amat jauh, kemajuan simpanse bertambah setapak lagi dengan kemampuannya
mempelajari kosakata yang memiliki makna semena. Sayangnya, Nim dan simpanse
yang lain tidak dapat berkomunikasi dengan sesama spesiesnya dengan menggunakan
bahasa isyarat yang telah diajarkan kepada mereka karena keterbatasan motivasi
mereka dan bukannya keterbatasan intelegensi.
Proposisi bahwa simpanse memiliki kemampuan dasar
untuk menggunakan dan memahami bahasa manusia itu mendapat tantangan. Para
penantang mengemukakan bahwa kemampuan simpanse dalam berkomunikasi dengan
manusia itu tidak ubahnya seperti hasil orang melatih binatang pada zaman
dahulu, yang dilakukan dengan pendekatan dressege.
Pada awal abad ke-20, Oskar Pfungst,
seorang psikolog dari Institut Psikologi Berlin, mengadakan eksperimen
dengan mengadakan kuda sirkus yang diberi nama Clever Hans. Setelah melalui
latihan dalam waktu yang lama Hans ternyata mampu melakukan hentakan-hentakan
kaki untuk menjawab pertanyaan matematis dan untuk menunjuk huruf-huruf abjad.
Namun Pfungst mengetahui bahwa
apabila jarak antara Hans dan penanya dijauhkan, ketepatan jawaban Hans juga
berkurang. Di samping itu juga diketahui bahwa Hans sebenarnya menanggapi
isyarat-isyarat visual yang tidak begitu mencolok yang diberikan oleh penanya.
Jika penanya tidak mengetahui jawabannya, dia tidak dapat menunjukkan bahwa
Hans melakukan hentakan kaki dalam jumlah yang benar dan tentu saja jawaban
Hans salah. Pfungst menyimpulkan
bahwa tanggapan Hans dipengaruhi oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Fenomena pemberian isyarat lembut oleh manusia
kepada binatang secara terkondisi semacam itu, pada umumnya dipandang sebagai
penjelasan tentang perilaku mirip bahasa pada kebanyakan binatang (Sibeok dan Umeker-Sibeok, 1980). Demikian juga halnya pada simpanse. David Premack pernah mencoba menguji
kemampuan Sarah yang dilakukan oleh seorang pelatih yang tidak dikenal Sarah.
Pelatih itu memberikan soal pada papan bahasa Sarah. Ternyata kemampuan Sarah
menurun tajam dan menurut Premack kemampuan
Sarah menjadi seperti kemampuannya pada awal Premack mengajarnya.
Para peneliti yang melakukan pengajaran pada
binatang, khususnya simpanse, tidak dapat menerima sanggahan itu. Gardner dan Gardner mengemukakan bahwa mereka bukanlah pelatih binatang, dan
mereka tidak menumbuhkan tanggapan-tanggapan terkondisi pada Washoe. Dalam
suatu eksperimen rumit yang dirancang untuk menghilangkan isyarat-isyarat yang
dapat membantu Washoe, mereka menunjukkan bahwa ketika tidak ada manusia Washoe
dapat menghasilkan isyarat-isyarat yang benar untuk mengidentifikasi gambar
benda-benda. Berbeda dengan Gardner dan
Gardner, Terrace secara cermat
memberitahu para asisten mereka untuk selalu mengingat bahwa Nim Chimsky ialah
binatang percobaan dan bukanlah anak manusia. Latihan bagi Nim sering kali
dilakukan di ruangan tanpa jendela. Cara itu dimaksudkan untuk membatasi
interaksi sosial antara binatang percobaan dan pelatihnya untuk menciptakan
kondisi yang memadai untuk pendekatan apprentisage.
Namun dalam banyak kasus, cara itu malah menjadi penghambat kemajuan
simpanse dalam belajar bahasa.
Menanggapi pendekatan Terrace itu, Gardner dan
Gardner menambahkan bahwa seorang
anak manusia tunarungu cenderung tidak dapat mengembangkan kemampuan bahasa
isyarat secara interaktif dalam situasi yang sama dengan Nim. Mereka menekankan
perlu lingkungan domestik, tanpa kandang dengan harapan simpanse mempunyai
kesempatan untuk bermain secara imanjinatif dan berinteraksi secara normal
dengan para pemakai bahasa isyarat yang mahir. Hasil eksperimen mereka dengan
beberapa simpanse lain menunjukkan bahwa simpanse-simpanse dalam lingkungan
domestik dengan berteman manusia lebih cepat memperoleh bahasa isyarat. tentu
saja yang diharapkan dengan pendekatan itu ialah agar simpanse-simpanse itu
dapat menggunakan bahasa isyarat secara wajar untuk saling berkomuniksi. Namun,
terdapat petunjuk bahwa harapan itu merupakan harapan yang mustahil. Di samping
itu, terdapat kritikan bahwa para pelatih binatang itu terlalu berlebihan dalam
menafsirkan kemampuan Washoe. Mereka dikecam mengartikan gerakan simpanse itu
untuk mencocokkan dengan harapan mereka tentang kemampuan berbahasa simpanse.
Bahkan dalam situasi semacam itu terdapat kecenderungan bagi para peneliti
untuk menganggap jawaban simpanse benar apabila sudah termasuk dalam satu
kategori. Misalnya, Gardner dan Gardner dapat menerima jawaban biru setelah mereka menanyakan warna apa untuk sebuah bola berwarna
merah kepada simpanse.
Terdapat pelajaran penting yang dapat diperoleh dari
upaya mengajar simpanse untuk menggunakan beberapa bentuk bahasa. Dengan
pengajarannya semacam itu, pertanyaan “Mampukah simpanse berperan dalam
interaksi dengan menggunakan sistem isyarat yang dipilih oleh manusia dan bukan
oleh simpanse?” telah terjawab dengan jawaban tegas “Ya” perkembangan yang
sama? Jawabannya ialah “Tidak.” Pelajarannya yang lain ialah adanya pengakuan
bahwa kita tidak memiliki definisi yang obyektif dan tanpa pertentangan
mengenai apa yang disebut dengan “menggunakan bahasa.” Ketika anak manusia
bersuara seperti manusia, mereka dipandang menunjukkan perkembangan bahasa.
Namun ketika anak simpanse menghasilkan isyarat-isyarat seperti bahasa dalam
interaksi dengan manusia, kita masih belum dapat menegaskan bahwa hal itu
merupakan penggunaan bahasa.
Kriteria yang digunakan dalam setiap kasus
penggunaan bahasa oleh setiap simpanse itu tidaklah sama. Masalah itu ada
seperti halnya kontroversi yang dihadapi oleh para psikolog yang berbeda
tentang kemampuan simpanse dalam menggunakan bahasa. Namun dengan banyak bukti
penelitian pengajaran bahasa manusia kepada simpanse, sebagian pakar
menyarankan agar Noam Chomsky merevisi
pernyataan bahwa “Pemerolehan bahasa, bahkan pada tahap awal penguasaan bahasa
ada di luar kemampuan seekor kera yang pintar.” Dari berbagai eksperimen itu
telah terbukti bahwa kendatipun kita tidak mendapatkan laporan pandangan
simpanse tentang krisis ekologi dan perkembangan ekonomi global, kita
mengetahui bahwa simpanse dapat menjangkau tahap awal penguasaan bahasa (Yule, 1985).
Kesimpulan itu pun bagi sebagian pakar belum dapat
dipegang secara teguh. Kelompok pakar itu menilai para peneliti dan pelaku
eksperimen pengajaran bahasa kepada simpanse, merekayasa diri mereka sendiri
dengan harapan mereka pada simpanse-simpanse percobaan itu. Mereka dikritik
terlalu yakin dan hanya mendasarkan pada kaidah-kaidah penafsiran manusia untuk
menyimpulkan reaksi simpanse dalam berbahasa manusia menyerupai cara manusia
berbahasa. Para pengkritik itu akhirnya menyimpulkan bahwa komunikasi antara
manusia dengan simpanse masih merupakan bagian dari sebuah fiksi ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar