KEWAJIBAN
SEORANG SUAMI PADA ISTRI
Kesempatan
yang lalu, telah diangkat mengenai kewajiban istri di web Muslim.Or.Id tercinta
ini. Saat ini, giliran suami pun harus mengetahui kewajibannya. Apa saja
kewajiban suami, berkaitan dengan berbuat baik pada istri dan kewajiban nafkah,
akan diulas secara sederhana dalam tulisan kali ini. Moga dengan mengetahui hal
ini pasutri semakin lekat kecintaannya, tidak penuh ego dan semoga hubungan
mesta tetap langgeng.
Pertama: Bergaul dengan istri dengan cara
yang ma’ruf (baik)
Yang
dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak
menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria
di hadapan istri.
Allah Ta’ala
berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
Dari
‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik
kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang
yang paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895,
Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas,
“Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku
kalian kepada istri. Berbuat baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian
bertingkah laku demikian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)
Berbuat
ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup di dalamnya seluruh hak
istri. Nah, setelah ini akan kami utarakan berbagai bentuk berbuat baik
kepada istri. Penjelasan ini diperinci satu demi satu agar lebih diperhatikan
para suami.
Kedua: Memberi nafkah, pakaian dan tempat
tinggal dengan baik
Yang
dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan
anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah
seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’
dan logika.
Dalil Al
Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf”
(QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan
cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam
hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan
kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit.
Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta
bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
Dari
Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,
فَاتَّقُوا
اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ
فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah
kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya
telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan
mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh
permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka
melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti.
Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian
dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari
Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ –
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau
memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian
sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul
istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak
memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no.
2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Dari
Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah
seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang
mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مَا
يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah
dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar
sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Lalu berapa besar nafkah yang
menjadi kewajiban suami?
Disebutkan
dalam ayat,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ
عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
عَلَى
الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
“Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula)” (QS. Al Baqarah: 236).
Sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,
خُذِى مَا
يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah
dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar
sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Dalil-dalil
di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:
- Mencukupi
istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan
zaman.
- Dilihat
dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam
rizki ataukah tidak.
Termasuk
dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan tempat tinggal bagi istri. Patokannya
adalah dua hal yang disebutkan di atas.
Mencari
nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena
itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini.
Masih ada
beberapa hal terkait kewajiban suami yang belum dibahas. Insya Allah akan
berlanjut pada tulisan berikutnya.
Wallahu waliyyut taufiq was
sadaad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar