Senin, 19 September 2016

PEMAKAIAN REFERENSIAL DAN ATRIBUTIF SERTA NAMA DAN REFEREN DALAM STUDI PRAGMATIK




PEMAKAIAN REFERENSIAL DAN ATRIBUTIF SERTA NAMA DAN REFEREN DALAM STUDI PRAGMATIK

MAKALAH
Disusun untuk Mempresentasikan Tugas Mata Kuliah Pragmatik
Sebagai Bahan Pembelajaran

Oleh:
Hasanul Amri (13113011)
Eva Rosita       (13113008)
                                                           










UNIVERSITAS ABULYATAMA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
TAHUN 2016






BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
      Melihat fenomena yang terjadi dalam tindak tutur dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mengenai acuan pemikiran kita tentang suatu hal dan cara mengambil suatu simpulan atau intervensi yang berupa anggapan atau argumen maupun persepsi terhadap apa yang disampaikan oleh penutur. Pentinglah mengetahui bahwa tidak semua ungkapan memiliki referen fisik yang dapat dikenali. Frase nomina tidak tentu dapat dipakai untuk mengenali suatu entitas yang ada secara fisik tetapi ungkapan-ungkapan itu juga dapat dipakai untuk menjelaskan entitas-entitas yang diasumsikan ada, tetapi tidak dikenal, atau entitas-entitas sejauh yang kita ketahui, yang tidak ada.
Kadang kala yang disebut dengan pemakaian atributif  berarti “siapa saja/apa saja yang sesuai dengan uraiannya. Pemakaian atributif bergantung pada asumsi penutur bahwa suatu referen harus ada. Penutur sering mengajak kita untuk berasumsi, melalui pemakaian atributif, bahwa kita dapat mengenali apa yang sedang mereka bicarakan, bahkan jika entitas atau orang yang dideskripsikan mungkin tidak ada. Oleh karena itu, kita sangat penting mengetahui tentang bagaimana kita melakukan pengkodean terhadap bahasa.
Referensi di dalam bahasa yang menyangkut nama diri digunakan sebagai topik baru (untuk memperkenalkan) atau untuk menegaskan bahwa topik masih sama. Topik yang sudah jelas biasanya dihilangkan atau diganti. Pada kalimat yang panjang, biasanya muncul beberapa predikat dengan subjek yang sama dan subjek menjadi topik juga. Subjek hanya disebutkan satu kali pada permulaan kalimat, lalu diganti dengan acuan (referensi) yang sama. Oleh karena itu, kita perlu memahami kedua istilah ini lebih mendalam. Dalam sebuah interaksi sosial, penutur sering menggunakan bentuk-bentuk linguistik untuk mengacu pada sesuatu. Tindakan itu dilakukan untuk memungkinkan seorang mitra tutur, atau pembaca, mengenali sesuatu, hal ini disebut dengan referensi.
Bentuk-bentuk linguistik itu adalah ekspresi referensi, bisa nama diri (contoh: Chairil Anwar, Andrea Hirata, Dewi Lestari), frase nomina tertentu (contoh: penulis itu, penyair itu, hewan itu), atau yang tak tentu (contoh: seorang pria, seorang wanita, sebuah tempat yang indah), dan kata ganti (contoh: dia, mereka, ini, itu). Jadi, cukup dengan memilih salah satu tipe ekspresi referensi, mitra tutur sudah mengetahui apa yang penutur asumsikan.
Referensi dengan jelas terikat dengan tujuan penutur (contoh: untuk mengidentifikasi sesuatu) dan penutur percayai (yaitu: dapatkan mitra tutur diharapkan mengetahui sesuatu yang khusus itu?) dalam pemakaian bahasa. Untuk referensi sukses terjadi, kita harus mengenal peran inferensi.

1.2 Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan masalah yaitu:
1.      Bagaimanakah pemakaian referensial dan atributif dalam pragmatik?
2.      Bagaimanakah pemakaian nama dan referen dalam pragmatik?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.      Mendeskripsikan pemakaian referensial dan atributif dalam ilmu pragmatik!
2.      Mengetahui perbedaan pemakaian nama dan referen dalam studi pragmatik!
3.      Mengklasifikasikan pemakaian referensial dan atributif serta nama dan referen dalam studi pragmatik!

1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat membantu mahasiswa sebagai referensi kuliah secara teoritis maupun secara praktis.
Secara teoritis, makalah ini dapat menambah khasanah pengetahuan mengenai Pemakaian Referensial dan atributif serta nama dan referen bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Secara praktis, makalah ini bermanfaat pembaca untuk dapat mengetahui cara bagaimana untuk melihat acuan yang dijadikan sebagai rujukan oleh penutur dan menarik sebuah kesimpulan.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pemakaian Referensial dan Atributif
            Pentinglah mengetahui bahwa tidak semua ungkapan memiliki referen fisik yang dapat dikenali. Frase nomina tidak tentu dapat dipakai untuk mengenali suatu entitas yang ada secara fisik tetapi ungkapan-ungkapan itu juga dapat dipakai untuk menjelaskan entitas-entitas yang diasumsikan ada, tetapi tidak dikenal, atau entitas-entitas sejauh yang kita ketahui, yang tidak ada. Kadang kala yang disebut dengan pemakaian atributif  berarti “siapa saja/apa saja yang sesuai dengan uraiannya. Pemakaian atributif bergantung pada asumsi penutur bahwa suatu referen harus ada. Penutur sering mengajak kita untuk berasumsi, melalui pemakaian atributif, bahwa kita dapat mengenali apa yang sedang mereka bicarakan, bahkan jika entitas atau orang yang dideskripsikan mungkin tidak ada.
Contoh:
2. (A) Ada seorang wanita di depan WC.
2. (B) Dani ingin menikah dengan seorang perempuan yang solehah dan baik.
2. (C) Kami ingin sekali melihat gajah sebesar gedung.
            Dalam (2A) kita lihat pemakaian frase nomina yang tidak tentu untuk mengenali suatu entitas yang ada secara fisik. Selain itu, pemakaian frase nomina ini dapat dipakai untuk menjelaskan entitas-entitas yang diasumsikan ada, tetapi tidak dikenal, seperti dalam (2B), atau entitas-entitas yang sejauh ini tidak diketahui seperti dalam (2C). Kata seorang dalam (2B), dapat digantikan dengan kata siapa pun. Inilah yang disebut dengan pemakaian atributif, yang berarti siapa saja/apa saja yang sesuai dengan uraian. Pemakaian atributif berbeda dengan pemakaian referensial, di mana yang lebih diutamakan adalah perempuan itu solehah dan baik daripada nama yang dimilikinya, meskipun seorang perempuan itu sudah ada di dalam benak. Dalam kasus tertentu, suatu perbedaan yang sama dapat ditemukan pada frase nomina tertentu.
Contoh:
(3)  Pencuri itu pergi entah ke mana.
            Sebuah berita, dalam (3), yang ditulis oleh wartawan dapat menggunakan pemakaian atributif, yaitu siapa saja yang melakukan pencurian? tanpa harus mengetahui dengan pasti apakah ada seorang yang dapat menjadi referen dari ungkapan tertentu, dalam hal ini pencuri. Hal ini berdasarkan pada asumsi penutur bahwa suatu referen harus ada. Akan tetapi, jika pencuri itu sudah diketahui, pengucapan kalimat tentang individu yang akan menjadi pemakaian referensial, berdasarkan pada pengetahuan penutur bahwa referen itu ada. Intinya adalah ungkapan-ungkapan itu sendiri tidak dapat diperlakukan seperti memiliki referensi (seperti yang sering diasumsikan dalam perlakuan semantik), tetapi diinvestasikan atau tidak fungsi referensial dalam sebuah konteks oleh penutur atau penulis (George Yule, 1996: 19).

2.2 Nama dan Referensi
            Suatu pandangan referensi pragmatik secara benar membolehkan kita melihat bagaimana seseorang dapat diidentifikasi melalui ungkapan “Sandwich Keju” dan suatu benda atau barang dapat diidentifikasikan melalui nama “Shakespeare.”
Contoh:
a.       Ita: Dapatkah saya meminjam Shakespearemu?
b.      Deriz: Ya, ada di atas meja sana.
c.       Deriz: Sandwich keju duduk di mana?
d.      Ita : Dia duduk di sana, dekat jendela.
            Pemakaian suatu nama diri secara referensial untuk mengenali objek apapun yang sedemikian mengajak pendengar untuk membuat kesimpulan yang diharapkan dan dari sini menunjukkan dirinya sendiri untuk menjadi satu anggota masyarakat yang sama sebagai penutur. Ada suatu asumsi bahwa pengacuan-pengacuan hanya dapat menunjuk pada entitas-entitas yang sangat khusus. Dengan asumsi ini, kata Andrea Hirata adalah sebuah nama seseorang, dan kata Kacang Polong  hanya suatu nama benda. Dengan asumsi ini kata Andrea Hirata dan Kacang Polong hanya dapat dipakai untuk mengenali seseorang atau sesuatu yang khusus saja. Akan tetapi, asumsi ini salah. Dalam pandangan pragmatik, secara benar dan diperbolehkan menggunakan kata Andrea Hirata sebagai suatu benda, dan Kacang Polong sebagai suatu nama.


Contoh:
(4)        A: Bro, mana Andrea Hirata-ku?
            B: Oh itu, besok aku kembalikan.
(5)        A: Kacang Polong tidak ada di Mbok Jum.
            B: Mungkin dia sedang membaca di perpustakaan.
            Dalam percakapan (4A), kata Andrea Hirata bukan nama seseorang, melainkan mungkin sebuah buku dengan adanya kata itu dalam (4B). Dalam hal ini (4A) referen mungkin adalah sesuatu yang dihasilkan oleh pengarang. Lain halnya dengan (5A), di mana kata Kacang Polong bukanlah sebuah kata benda, melainkan sebuah nama orang yang dapat diketahui dengan adanya kata dia dalam (5B). Dari contoh-contoh tersebut ada hubungan pragmatik antara nama diri dengan objek-objek yang akan diasosiasikan secara konvensional, dalam masyarakat sosiokultural, dengan nama-nama itu (George Yule, 1996: 20).

2.3 Peranan Ko-teks
            Kemampuan kita untuk mengenali referen banyak tergantung pada pemahaman kita tentang ungkapan-ungkapan pengacuan. Ko-teks dengan jelas membatasi rentangan interpretasi yang mungkin kita miliki terhadap suatu kata. Ungkapan pengacuan sebenarnya memberikan suatu rentangan referensi yaitu sejumlah referensi yang memungkinkan.
Jadi referensi secara sederhana bukan merupakan hubungan antara arti suatu kata atau frase dengan suatu objek atau orang di dunia ini. Referensi adalah suatu tindakan sosial di mana penutur berasumsi bahwa kata atau frase yang dipilih untuk mengenali suatu objek atau orang akan ditafsirkan sebagai yang dimaksudkan penutur. Kemampuan kita untuk mengenali referen yang dimaksudkan sebenarnya lebih banyak bergantung pada pemahaman kita tentang ungkapan-ungkapan pengacuan. Kemampuan mengenali referen itu telah dibantu oleh materi linguistik, atau ko-teks, yang menyertai ungkapan pengacuan itu.



Contoh:
(8)  A: Jakarta memenangkan piala emas.
            Jika kata Jakarta merupakan suatu ungkapan pengacuan, memenangkan piala dunia merupakan bagian dari ko-teks itu. Ko-teks dengan jelas membatasi rentangan interpretasi terhadap kata Jakarta. Ungkapan pengacuan sebenarnya memberikan suatu rentangan referensi, yaitu sejumlah referensi yang memungkinkan.
Contoh:
(9)        A: Kacang itu diambil dari kebun.
B: Kacang sedang makan di Mbok Jum.
            Dari contoh di atas, sebuah ko-teks yang berbeda dapat memberikan jenis interpretasi yang berbeda-beda dalam setiap kasus. Jika (9A) ialah jenis makanan, (9B) ialah nama diri, meskipun kata kacang  tidak berubah. Ko-teks hanya sekedar bagian lingkungan linguistik di mana ungkapan pengacuan dipakai. Lingkungan fisik, atau konteks, mungkin lebih dikenali karena memiliki pengaruh yang kuat tentang bagaimana ungkapan pengacuan itu harus diinterprestasikan (George Yule, 1996: 21). Jadi, referensi secara sederhana merupakan suatu tindakan sosial, di mana penutur berasumsi bahwa kata atau frase yang dipilih untuk mengenali suatu objek atau orang akan dapat ditafsirkan sebagai yang dimaksudkan oleh penutur itu (George Yule, 1996: 22).
Contoh:
(10)      A: Ani sedang bermain bola di luar bersama dengan seorang pria.
            B: Dia sangat senang bermain dengannya.
            C: Hampir setiap hari Ani bermain dengannya.
            D: Mereka seperti sepasang kekasih.
            Dalam (10), penutur mengenalkan beberapa entitas di awal, lalu selanjutnya penutur memakai ungkapan-ungkapan yang bervariasi untuk tetap menjaga referensi. Kata Ani dan frasa nomina seorang pria adalah referensi yang diperkenalkan di awal, sementara kata dia -nya, dan ‘mereka’ merupakan referensi selanjutnya, hal inilah yang disebut dengan referensi anaforik atau anafora. Ungkapan-ungkapan seperti dia, -nya, dan mereka disebut dengan anafor, sementara ungkapan seperti Ani dan seorang pria disebut dengan anteseden.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
            Referensial merupakan acuan, secara tradisional referensi berarti hubungan antara kata dengan benda. Kata buku mempunyai referensi (tunjukan) kepada sekumpulan kertas yang terjilid untuk ditulis atau dibaca. Senada dengan pernyataan itu Djajasudarma (1994:51) mengemukakan bahwa secara tradisional, referensi merupakan hubungan antara kata dan benda, tetapi lebih lanjut dikatakan sebagai bahasa dengan dunia. Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal atau berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam 2003:23). Referensi memiliki beberapa jenis, yaitu: (1) referensi berdasarkan tempat acuannya, dan (2) berdasarkan tipe satuan lingualnya. Referensi berdasarkan tempat acuannya dibagi menjadi dua, yaitu referensi endofora dan eksofora. Dan berdasarkan tipe satuan lingualnya terdiri atas tiga tipe, antara lain: referensi persona, referensi demonstratif, referensi  komparatif.
            Inferensi memiliki pengertian yaitu kegiatan membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Inferensi memiliki dua jenis yaitu referensi langsung dan referensi tak langsung. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Inferensi memiliki dua jenis yaitu referensi langsung dan referensi tak langsung.

3.2 Saran
            Penulis sangat menyadari akan keterbatasan referensi dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA


Alamsyah, Teuku. 2007. “Pragmatik”. Modul Pengajaran. Banda Aceh: FKIP       Unisyiah

Djajasudarma, F. 2012. Wacana dan Pragmatik. Bandung: PT. Refika Aditama.

Kaswanti, Bambang Purwo. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa.       Yogyakarta: Kansius

Kridalaksana, Harimukti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Suyono. 1990. Pragmatik Dasar-Dasar dan Pengajaran. Malang: YA3 Malamg.

Yule, George. 2006. Pragmatik.(Terjemahan oleh Inda Fajar Wahyuni).      Yogyakarta Pustaka Pelajar.

(
http://ow.ly/KNICZ Di akses 14 Mei 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar