PEMAKAIAN REFERENSIAL DAN ATRIBUTIF
SERTA NAMA DAN REFEREN DALAM STUDI PRAGMATIK
MAKALAH
Disusun untuk
Mempresentasikan Tugas Mata Kuliah Pragmatik
Sebagai Bahan
Pembelajaran
Oleh:
Hasanul
Amri (13113011)
Eva
Rosita (13113008)
UNIVERSITAS ABULYATAMA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Melihat
fenomena yang terjadi dalam tindak tutur dalam kehidupan masyarakat sehari-hari
mengenai acuan pemikiran kita tentang suatu hal dan cara mengambil suatu
simpulan atau intervensi yang berupa anggapan atau argumen maupun persepsi
terhadap apa yang disampaikan oleh penutur. Pentinglah mengetahui bahwa tidak
semua ungkapan memiliki referen fisik yang dapat dikenali. Frase nomina tidak
tentu dapat dipakai untuk mengenali suatu entitas yang ada secara fisik tetapi
ungkapan-ungkapan itu juga dapat dipakai untuk menjelaskan entitas-entitas yang
diasumsikan ada, tetapi tidak dikenal, atau entitas-entitas sejauh yang kita
ketahui, yang tidak ada.
Kadang kala yang disebut dengan
pemakaian atributif berarti “siapa saja/apa saja yang sesuai dengan
uraiannya. Pemakaian atributif bergantung pada asumsi penutur bahwa suatu
referen harus ada. Penutur sering mengajak kita untuk berasumsi, melalui
pemakaian atributif, bahwa kita dapat mengenali apa yang sedang mereka bicarakan,
bahkan jika entitas atau orang yang dideskripsikan mungkin tidak ada. Oleh
karena itu, kita sangat penting mengetahui tentang bagaimana kita melakukan
pengkodean terhadap bahasa.
Referensi di dalam bahasa yang
menyangkut nama diri digunakan sebagai topik baru (untuk memperkenalkan) atau
untuk menegaskan bahwa topik masih sama. Topik yang sudah jelas biasanya
dihilangkan atau diganti. Pada kalimat yang panjang, biasanya muncul beberapa
predikat dengan subjek yang sama dan subjek menjadi topik juga. Subjek hanya
disebutkan satu kali pada permulaan kalimat, lalu diganti dengan acuan
(referensi) yang sama. Oleh karena itu, kita perlu memahami kedua istilah ini
lebih mendalam. Dalam sebuah interaksi sosial, penutur sering menggunakan
bentuk-bentuk linguistik untuk mengacu pada sesuatu. Tindakan itu dilakukan
untuk memungkinkan seorang mitra tutur, atau pembaca, mengenali sesuatu, hal
ini disebut dengan referensi.
Bentuk-bentuk linguistik itu adalah
ekspresi referensi, bisa nama diri (contoh: Chairil Anwar, Andrea Hirata, Dewi
Lestari), frase nomina tertentu (contoh: penulis itu, penyair itu, hewan itu),
atau yang tak tentu (contoh: seorang pria, seorang wanita, sebuah tempat yang
indah), dan kata ganti (contoh: dia, mereka, ini, itu). Jadi, cukup dengan memilih
salah satu tipe ekspresi referensi, mitra tutur sudah mengetahui apa yang
penutur asumsikan.
Referensi dengan jelas terikat
dengan tujuan penutur (contoh: untuk mengidentifikasi sesuatu) dan penutur
percayai (yaitu: dapatkan mitra tutur diharapkan mengetahui sesuatu yang khusus
itu?) dalam pemakaian bahasa. Untuk referensi sukses terjadi, kita harus
mengenal peran inferensi.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari penjabaran latar belakang di atas, penulis dapat
merumuskan masalah yaitu:
1. Bagaimanakah
pemakaian referensial dan atributif dalam pragmatik?
2. Bagaimanakah
pemakaian nama dan referen dalam pragmatik?
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Mendeskripsikan
pemakaian referensial dan atributif dalam ilmu pragmatik!
2. Mengetahui
perbedaan pemakaian nama dan referen dalam studi pragmatik!
3. Mengklasifikasikan
pemakaian referensial dan atributif serta nama dan referen dalam studi
pragmatik!
1.4 Manfaat
Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat
membantu mahasiswa sebagai referensi kuliah secara teoritis maupun secara
praktis.
Secara teoritis, makalah ini dapat
menambah khasanah pengetahuan mengenai Pemakaian Referensial dan atributif
serta nama dan referen bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Secara praktis,
makalah ini bermanfaat pembaca untuk dapat mengetahui cara bagaimana untuk
melihat acuan yang dijadikan sebagai rujukan oleh penutur dan menarik sebuah
kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pemakaian
Referensial dan Atributif
Pentinglah
mengetahui bahwa tidak semua ungkapan memiliki referen fisik yang dapat
dikenali. Frase nomina tidak tentu dapat dipakai untuk mengenali suatu entitas
yang ada secara fisik tetapi ungkapan-ungkapan itu juga dapat dipakai untuk
menjelaskan entitas-entitas yang diasumsikan ada, tetapi tidak dikenal, atau
entitas-entitas sejauh yang kita ketahui, yang tidak ada. Kadang kala yang
disebut dengan pemakaian atributif berarti “siapa saja/apa saja yang
sesuai dengan uraiannya. Pemakaian atributif bergantung pada asumsi penutur
bahwa suatu referen harus ada. Penutur sering mengajak kita untuk berasumsi,
melalui pemakaian atributif, bahwa kita dapat mengenali apa yang sedang mereka
bicarakan, bahkan jika entitas atau orang yang dideskripsikan mungkin tidak
ada.
Contoh:
2. (A) Ada seorang wanita di depan WC.
2. (B) Dani ingin menikah dengan
seorang perempuan yang solehah dan baik.
2. (C) Kami ingin sekali melihat
gajah sebesar gedung.
Dalam (2A) kita lihat pemakaian frase
nomina yang tidak tentu untuk mengenali suatu entitas yang ada secara fisik.
Selain itu, pemakaian frase nomina ini dapat dipakai untuk menjelaskan
entitas-entitas yang diasumsikan ada, tetapi tidak dikenal, seperti dalam (2B),
atau entitas-entitas yang sejauh ini tidak diketahui seperti dalam (2C). Kata seorang dalam (2B), dapat digantikan
dengan kata siapa pun. Inilah yang
disebut dengan pemakaian atributif, yang berarti siapa saja/apa saja yang sesuai dengan uraian. Pemakaian atributif
berbeda dengan pemakaian referensial, di mana yang lebih diutamakan adalah perempuan itu solehah dan baik daripada
nama yang dimilikinya, meskipun seorang perempuan itu sudah ada di dalam benak.
Dalam kasus tertentu, suatu perbedaan yang sama dapat ditemukan pada frase
nomina tertentu.
Contoh:
(3) Pencuri itu pergi entah ke mana.
Sebuah
berita, dalam (3), yang ditulis oleh wartawan dapat menggunakan pemakaian
atributif, yaitu siapa saja yang
melakukan pencurian? tanpa harus mengetahui dengan pasti apakah ada seorang
yang dapat menjadi referen dari ungkapan tertentu, dalam hal ini pencuri. Hal ini berdasarkan pada asumsi
penutur bahwa suatu referen harus ada. Akan tetapi, jika pencuri itu sudah
diketahui, pengucapan kalimat tentang individu yang akan menjadi pemakaian
referensial, berdasarkan pada pengetahuan penutur bahwa referen itu ada.
Intinya adalah ungkapan-ungkapan itu sendiri tidak dapat diperlakukan seperti
memiliki referensi (seperti yang sering diasumsikan dalam perlakuan semantik),
tetapi diinvestasikan atau tidak fungsi referensial dalam sebuah konteks oleh
penutur atau penulis (George Yule, 1996: 19).
2.2 Nama dan Referensi
Suatu
pandangan referensi pragmatik secara benar membolehkan kita melihat bagaimana
seseorang dapat diidentifikasi melalui ungkapan “Sandwich Keju” dan suatu benda atau barang dapat diidentifikasikan
melalui nama “Shakespeare.”
Contoh:
a. Ita:
Dapatkah saya meminjam Shakespearemu?
b. Deriz: Ya,
ada di atas meja sana.
c. Deriz:
Sandwich keju duduk di mana?
d. Ita : Dia
duduk di sana, dekat jendela.
Pemakaian
suatu nama diri secara referensial untuk mengenali objek apapun yang sedemikian
mengajak pendengar untuk membuat kesimpulan yang diharapkan dan dari sini
menunjukkan dirinya sendiri untuk menjadi satu anggota masyarakat yang sama
sebagai penutur. Ada suatu asumsi bahwa pengacuan-pengacuan hanya dapat
menunjuk pada entitas-entitas yang sangat khusus. Dengan asumsi ini, kata Andrea Hirata adalah sebuah nama
seseorang, dan kata Kacang Polong hanya suatu nama benda. Dengan asumsi ini kata
Andrea Hirata dan Kacang Polong hanya dapat dipakai untuk
mengenali seseorang atau sesuatu yang khusus saja. Akan tetapi, asumsi ini
salah. Dalam pandangan pragmatik, secara benar dan diperbolehkan menggunakan
kata Andrea Hirata sebagai suatu
benda, dan Kacang Polong sebagai
suatu nama.
Contoh:
(4) A:
Bro, mana Andrea Hirata-ku?
B: Oh
itu, besok aku kembalikan.
(5) A:
Kacang Polong tidak ada di Mbok Jum.
B:
Mungkin dia sedang membaca di perpustakaan.
Dalam
percakapan (4A), kata Andrea Hirata
bukan nama seseorang, melainkan mungkin sebuah buku dengan adanya kata itu dalam (4B). Dalam hal ini (4A) referen
mungkin adalah sesuatu yang dihasilkan
oleh pengarang. Lain halnya dengan (5A), di mana kata Kacang Polong bukanlah sebuah kata benda, melainkan sebuah nama
orang yang dapat diketahui dengan adanya kata dia dalam (5B). Dari contoh-contoh tersebut ada hubungan pragmatik
antara nama diri dengan objek-objek yang akan diasosiasikan secara konvensional,
dalam masyarakat sosiokultural, dengan nama-nama itu (George Yule, 1996: 20).
2.3 Peranan Ko-teks
Kemampuan
kita untuk mengenali referen banyak tergantung pada pemahaman kita tentang
ungkapan-ungkapan pengacuan. Ko-teks dengan jelas membatasi rentangan
interpretasi yang mungkin kita miliki terhadap suatu kata. Ungkapan pengacuan
sebenarnya memberikan suatu rentangan referensi yaitu sejumlah referensi yang
memungkinkan.
Jadi referensi secara sederhana
bukan merupakan hubungan antara arti suatu kata atau frase dengan suatu objek
atau orang di dunia ini. Referensi adalah suatu tindakan sosial di mana penutur
berasumsi bahwa kata atau frase yang dipilih untuk mengenali suatu objek atau
orang akan ditafsirkan sebagai yang dimaksudkan penutur. Kemampuan
kita untuk mengenali referen yang dimaksudkan sebenarnya lebih banyak
bergantung pada pemahaman kita tentang ungkapan-ungkapan pengacuan. Kemampuan
mengenali referen itu telah dibantu oleh materi linguistik, atau ko-teks, yang
menyertai ungkapan pengacuan itu.
Contoh:
(8)
A: Jakarta memenangkan piala emas.
Jika
kata Jakarta merupakan suatu ungkapan
pengacuan, memenangkan piala dunia
merupakan bagian dari ko-teks itu. Ko-teks dengan jelas membatasi rentangan interpretasi
terhadap kata Jakarta. Ungkapan
pengacuan sebenarnya memberikan suatu rentangan referensi, yaitu sejumlah
referensi yang memungkinkan.
Contoh:
(9) A:
Kacang itu diambil dari kebun.
B: Kacang
sedang makan di Mbok Jum.
Dari
contoh di atas, sebuah ko-teks yang berbeda dapat memberikan jenis interpretasi
yang berbeda-beda dalam setiap kasus. Jika (9A) ialah jenis makanan, (9B) ialah
nama diri, meskipun kata kacang tidak berubah. Ko-teks hanya sekedar bagian
lingkungan linguistik di mana ungkapan pengacuan dipakai. Lingkungan fisik,
atau konteks, mungkin lebih dikenali karena memiliki pengaruh yang kuat tentang
bagaimana ungkapan pengacuan itu harus diinterprestasikan (George Yule, 1996:
21). Jadi, referensi secara sederhana merupakan suatu tindakan sosial, di mana
penutur berasumsi bahwa kata atau frase yang dipilih untuk mengenali suatu
objek atau orang akan dapat ditafsirkan sebagai yang dimaksudkan oleh penutur
itu (George Yule, 1996: 22).
Contoh:
(10) A: Ani
sedang bermain bola di luar bersama dengan seorang pria.
B:
Dia sangat senang bermain dengannya.
C:
Hampir setiap hari Ani bermain dengannya.
D:
Mereka seperti sepasang kekasih.
Dalam
(10), penutur mengenalkan beberapa entitas di awal, lalu selanjutnya penutur
memakai ungkapan-ungkapan yang bervariasi untuk tetap menjaga referensi. Kata Ani dan frasa nomina seorang pria adalah referensi yang
diperkenalkan di awal, sementara kata dia
-nya, dan ‘mereka’ merupakan referensi selanjutnya, hal inilah yang disebut
dengan referensi anaforik atau anafora. Ungkapan-ungkapan seperti dia, -nya, dan mereka disebut dengan anafor, sementara ungkapan seperti Ani dan seorang pria disebut dengan anteseden.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Referensial
merupakan acuan, secara tradisional referensi berarti
hubungan antara kata dengan benda. Kata buku mempunyai referensi (tunjukan)
kepada sekumpulan kertas yang terjilid untuk ditulis atau dibaca. Senada dengan
pernyataan itu Djajasudarma (1994:51) mengemukakan bahwa secara tradisional,
referensi merupakan hubungan antara kata dan benda, tetapi lebih lanjut
dikatakan sebagai bahasa dengan dunia. Pengacuan atau referensi adalah salah
satu jenis kohesi gramatikal atau berupa satuan lingual tertentu yang mengacu
pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya
(Sumarlam 2003:23). Referensi memiliki beberapa jenis, yaitu: (1) referensi
berdasarkan tempat acuannya, dan (2) berdasarkan tipe satuan lingualnya. Referensi
berdasarkan tempat acuannya dibagi menjadi dua, yaitu referensi endofora dan
eksofora. Dan berdasarkan tipe satuan lingualnya terdiri atas tiga tipe, antara
lain: referensi persona, referensi demonstratif, referensi komparatif.
Inferensi memiliki pengertian yaitu
kegiatan membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam
membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna
tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan
(eksplikatur). Inferensi memiliki dua jenis yaitu referensi langsung dan
referensi tak langsung. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan
implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang
ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Inferensi memiliki dua
jenis yaitu referensi langsung dan referensi tak langsung.
3.2 Saran
Penulis sangat menyadari akan
keterbatasan referensi dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Teuku. 2007. “Pragmatik”. Modul Pengajaran. Banda Aceh: FKIP Unisyiah
Djajasudarma, F. 2012. Wacana dan Pragmatik. Bandung: PT.
Refika Aditama.
Kaswanti, Bambang Purwo. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kansius
Kridalaksana, Harimukti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Suyono. 1990. Pragmatik Dasar-Dasar dan Pengajaran. Malang: YA3 Malamg.
Yule, George. 2006. Pragmatik.(Terjemahan oleh Inda Fajar Wahyuni). Yogyakarta Pustaka Pelajar.
(http://ow.ly/KNICZ Di akses 14 Mei 2016)
(http://ow.ly/KNICZ Di akses 14 Mei 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar